Uraian Lengkap Model Model Pembelajaran dengan Pendekatan Saintifik
MODEL-MODEL
PEMBELAJARAN dengan Pendekatan Saintifik
Proses
pendidikan abad-21 dapat kita wujudkan melalui penyelenggaraan proses
pembelajaran yang mendidik dan yang berkualitas sesuai paradigma pendidikan
abad-21. Dalam paradigma tersebut, pembelajaran perlu kita selenggarakan untuk
mengembangkan seluruh potensi siswa secara holistik (utuh) melalui penggunaan
atau penerapan pendekatan, model dan metode pembelajaran yang lebih inovatif,
berpusat pada keaktifan belajar siswa (student centered learning-SCL),
kontekstual, serta memanfaatkan aneka sumber belajar dan teknologi pendidikan
secara integratif dengan materi pembelajaran yang Anda ajarkan.
Tahap 2:
Tahap 2
Tahap 3
Tahap 4
Tahap 5
Tahap 6
Uraian
Materi

Dalam
Materi ini Anda dapat mempelajari tentang pendekatan saintifik dan
model-model pembelajaran sebagaimana tersebut pada pokok materi di atas.
Setelah memahami kedua materi tersebut Anda diharapkan dapat menerapkannya
dalam pembelajaran. Nah, untuk menambah wawasan, Anda dapat mencermati video
tentang contoh penerapan pendekatan saintifik dan model-model pembelajaran
berbasis SCL pada link yang diberikan.
A.
Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran
Pembelajaran
pada kurikulum 2013 dilaksanakan mengacu pada pembelajaran dengan pendekatan
saintifik (scientific approach) sebagaimana disebutkan pada Permendikbud
No. 103 tahun 2014. Pendekatan ini merupakan bagian dari pendekatan pedagogis
dalam kegiatan pembelajaran yang diarahkan pada penerapan metode ilmiah. Metode
ilmiah merupakan serangkaian aktivitas pengumpulan data melalui observasi atau
eksperimen, mengolah informasi atau data, menganalisis, kemudian memformulasi,
dan menguji hipotesis. Nusfiqon & Nurdyansyah (2015:51) menyebutkan bahwa
pendekatan saintifik dalam kegiatan pembelajaran bukan hanya mengembangkan
kompetensi peserta didik untuk melakukan kegiatan observasi atau eksperimen
saja, tetapi juga mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif
peserta didik dalam berinovasi atau berkarya. Pendekatan saintifik dapat
mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan siswa.
Secara
umum, pembelajaran dilaksanakan melalui kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup.
Pada pendekatan saintifik, kegiatan pendahuluan dilakukan untuk memantapkan
pemahaman peserta didik tentang pengetahuan awal yang telah dikuasai
dilanjutkan dengan penyampaian tujuan pembelajaran sehingga menimbulkan rasa
ingin tahu yang tinggi. Rasa ingin tahu tersebut dapat menjadi dasar yang kuat
untuk belajar pada kegiatan inti. Pada kegiatan inti peserta didik melakukan
kegiatan belajar dengan metode ilmiah. Agar kegiatan pembelajaran inti dapat
menjadi terarah dan bermakna, maka pendidik harus menyusun rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) secara sistematis sesuai langkah metode ilmiah.
Dalam
rancangan tersebut peserta didik diarahkan dan dibimbing untuk mengkonstruksi pengetahuan,
sikap, serta keterampilannya melalui mengamati, menanya, menalar, mencoba,
dan
mengkomunikasikan. Sementara pada kegiatan penutup siswa diarahkan untuk melakukan
validasi temuan serta pengayaan materi yang telah dipelajari. Sani (2017:53)
memaparkan lima tahapan pendekatan saintifik yang sesuai dengan Permendikbud
Nomor 65 tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, yaitu
(1)
mengamati;
(2)
menanya;
(3)
mencoba/mengumpulkan informasi;
(4)
menalar/mengasosiasi;
(5)
dan membentuk jejaring/melakukan komunikasi.
Langkah-langkah
tersebut dapat ditambahkan dengan mencipta. Tahapan pendekatan saintifik tidak
harus dilakukan secara urut, akan tetapi dapat dilakukan sesuai dengan
pengetahuan yang akan dipelajari. Berikut ini penjabaran tahapan pembelajaran
dengan pendekatan saintifik (dalam Sufairoh, 2016:121-122).
1.
Mengamati, merupakan kegiatan mengidentifikasi suatu objek
melalui penginderaan, yaitu melalui indera penglihat (membaca, menyimak),
pembau, pendengar, pencecap dan peraba pada saat mengamati suatu objek
menggunakan ataupun tidak menggunakan alat bantu sehingga siswa dapat
mengidentifikasi suatu masalah.
2.
Menanya, merupakan kegiatan mengungkapkan suatu hal yang
ingin diketahuinya baik yang berkenaan dengan suatu objek, peristiwa, suatu proses
tertentu. Pertanyaan dapat diajukan secara lisan mapun tulisan dan dapat berupa
kalimat pertanyaan atau kalimat hipotesis sehingga siswa dapat merumuskan
masalah dan hipotesis.
3.
Mengumpulkan data, merupakan kegiatan mencari informasi
sebagai bahan untuk dianalisis dan disimpulkan. Kegiatan ini dapat dilakukan
dengan membaca buku, observasi lapangan, uji coba, wawancara, menyebarkan
kuesioner, dan lain-lain, sehingga siswa dapat menguji hipotesis yang telah
dibuat sebelumnya.
4.
Mengasosiasi, merupakan mengolah data dalam
serangkaian aktivitas fisik dan pikiran dengan bantuan peralatan tertentu.
Pengolahan data dapat dilakukan dengan klasifikasi, mengurutkan, menghitung,
membagi, dan menyusun data dalam bentuk yang lebih informatif, serta menentukan
sumber data sehingga lebih bermakna. Bentuk pengolahan data misalnya tabel,
grafik, bagan, peta konsep, menghitung, dan pemodelan. Selanjutnya siswa
menganalisis data untuk membandingkan ataupun menentukan hubungan antara data
yang telah diolahnya dengan teori yang ada sehingga dapat ditarik suatu
simpulan.
5.
Mengomunikasikan, merupakan kegiatan siswa dalam
mendeskripsikan dan menyampaikan hasil temuannya dari kegiatan mengamati,
menanya, mengumpulkan dan mengolah data, serta mengasosiasi yang ditujukan
kepada orang lain baik secara lisan maupun tulisan dalam bentuk diagram, bagan,
gambar, dan sejenisnya dengan bantuan perangkat teknologi sederhana dan atau
teknologi informasi dan komunikasi.
Pendekatan
saintifik sendiri merupakan suatu prosedur atau proses, yakni langkah-langkah
sistematis yang perlu dilakukan untuk memperoleh pengetahuan secara ilmiah yang
didasarkan pada persepsi indrawi dan melibatkan uji hipotesis serta teori
secara terkontrol (Sudarminta, 2002: 164). Melalui model pembelajaran yang
relevan dengan pendekatan saintifik akan dihasilkan output (siswa)
dengan kemampuan intelektual dan karakter yang baik.
Untuk
menambah pemahaman Anda tentang pendekatan saintifik silakan klik link berikut
ini dan silakan mencermati pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan saintifik
pada link berikut:
https://www.youtube.com/watch?v=kHpvPXbTHjA
Dalam
video tersebut diperlihatkan tahap-tahap pendekatan saintifik dalam
pembelajaran. Pendekatan saintifik yang dilandasi paradigma konstruktivistik,
berpusat pada siswa (student centered learning), dan berorientasi pada
kelompok kerjasama diharapkan dapat memaksimalkan proses pembelajaran dan hasil
belajar siswa. Model-model pembelajaran yang mengacu pada pendekatan saintifik
tersebut di antaranya: model pembelajaran berbasis masalah, model pembelajaran
berbasis proyek, model pembelajaran kooperatif, dan model pembelajaran
Simulasi. Bagaimana model-model pembelajaran tersebut dapat Anda
implementasikan? Mari, kita cermati bersama uraian model-model tersebut berikut
ini.
B.
Beberapa Model Pembelajaran Berpusat pada Peserta Didik (SCL)
Sebelum
membahas tentang model pembelajaran perlu kita ketahui terlebih dulu pengertian
pembelajaran dan pengertian model. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
pada pasal 1, ayat 20 dinyatakan bahwa pembelajaran merupakan proses interaksi
antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar dalam suatu lingkungan
belajar. Sejalan dengan UU Sisdiknas tersebut Permendikbud RI No.103 Tahun 2014
pasal 1 lebih jelas menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi
antarpeserta didik dan antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar
pada suatu lingkungan belajar (BSNP, 2016). Mengacu pada pengertian pembelajaran
tersebut dapat kita pahami bahwa dalam pembelajaran ada tiga unsur penting yaitu:
1) subjek, 2) aktivitas atau proses interaksi, dan 3) lingkungan belajar. Siswa
dan guru adalah subjek yang aktif.
Ahli
pembelajaran, seperti Gagne, Briggs dan Wager (1992) juga menyatakan hal
senada, bahwa pembelajaran adalah serangakaian kegiatan yang dirancang untuk
terfasilitasinya proses belajar siswa. Kiranya jelas, bahwa tujuan dari semua
upaya pembelajaran adalah agar siswa belajar. Dalam pembelajaran, siswa adalah
subjek yang aktif belajar. Tentu saja, guru juga memainkan peranan penting.
Peran guru tersebut adalah memilih, menetapkan, dan menata kegiatan-kegiatan (events)
pembelajaran agar efektif bagi proses belajar siswa. Untuk itulah guru
harus merancang kegiatan pembelajaran (events of instruction) dengan
baik, termasuk dalam menggunakan metode dan model pembelajaran yang tepat,
semata-mata agar proses belajar siswa berhasil.
Mengenai
pengertian “model”, kita ikuti pendapat Winataputra (2001:3) yang mengartikan
model sebagai kerangka konseptual. Dengan demikian, jelaslah sekarang
bahwa yang dimaksud model pembelajaran dalam modul ini, sebagaimana dinyatakan
Joyce & Weil (1996) dan Winataputra (2001), adalah kerangka konseptual yang
digunakan sebagai pedoman atau yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu.
Model pembelajaran dapat berfungsi atau bermanfaat sebagai pedoman bagi para
perancang pembelajaran dan guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas
pembelajaran.
Model
pembelajaran memiliki lima unsur dasar sebagaimana dikemukakan oleh Joyce &
Weil (1996) dan Winataputra (2001), yaitu: a) sintakmatik, b) sistem sosial, c)
prinsip reaksi, d) sistem pendukung, dan dampak instruksional dan pengiring.
Setiap model pembelajaran memiliki sintakmatiknya. Hal ini berarti bahwa jika
suatu model pembelajaran tidak jelas sintakmatiknya maka sesungguhnya model
tersebut belum dapat dikategorikan sebagai model pembelajaran.
Sintakmatik
(syntax) ialah tahap-tahap atau langkah-langkah operasional kegiatan
pembelajaran dari model itu, sedangkan Sistem Sosial (social system) adalah
suasana atau situasi dan norma yang berlaku dalam model pembelajaran tersebut.
Prinsip Reaksi (principles of reaction), adalah pola kegiatan yang
menggambarkan bagaimana seharusnya guru melihat dan memperlakukan para siswa,
termasuk merespon siswa, dan mengunakan aturan main yang berlaku dalam
setiap model. Sistem pendukung (support system), yaitu segala sarana,
bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran. Sedangkan
yang dimaksud dampak instruksional (instructional effect) dan dampak
pengiring atau efek ikutan (nurturant effect) adalah hasil belajar
kurikuler langsung sesuai tujuan kurikulum, dan hasil belajar pengiring yaitu
hasil belajar ikutan yang diperoleh di samping hasil pembelajaran yang disasar
secara kurikuler.
Berdasarkan
pengertian dan manfaat model pembelajaran tersebut jelas bahwa dalam
pembelajaran guru perlu memahami model-model pembelajaran agar dapat memilihnya
dengan tepat dan efektif dalam upaya membelajarkan peserta didik. Beberapa
model pembelajaran yang mendukung pendekatan saintifik dan paradima
pembelajaran abad-21 diuraikan berikut ini.
1.
Beberapa Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning).
Implementasi
berbagai model yang mengacu pada pendekatan saintifik sangat berguna dalam
upaya meningkatkan kinerja pembelajaran. Terdapat lebih dari seratus model
pembelajaran yang dapat digunakan dalam implementasi pendekatan sainfitik, dan
salah satunya adalah cooperative learning (Budiyanto, dkk, 2016: 48).
Sejak diterapkannya pertama kali di Universitas John Hopkins, pembelajaran
kooperatif telah dikembangkan secara intensif melalui berbagai penelitian yang
bertujuan untuk meningkatkan kerjasama akademik antar siswa, membentuk hubungan
positif, mengembangkan rasa percaya diri, serta meningkatkan kemampuan akademik
melalui aktivitas belajar kelompok. Para ahli dan peneliti pembelajaran
kooperatif, seperti Johnson dan Johnson (1991), Slavin (1995), Sharan dan
Sharan (1992), Hill & Hill (1993), Arends (2004), maupun Heinich, dkk.
(2002), mendefinisikan bahwa pembelajaran kooperatif pada intinya adalah suatu
strategi pembelajaran yang terstruktur secara sistematis di mana siswa
bekerjasama dalam kelompok-kelompok kecil dengan anggota antara empat sampai
lima orang secara heterogen untuk mencapai tujuan bersama.
Mengacu
pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu pembelajaran dikatakan
merupakan pembelajaran kooperatif jika pembelajaran tersebut mencerminkan
karakteristik sebagai berikut: a) siswa-siswa belajar dalam kelompok kecil yang
terdiri atas empat sampai enam anggota dengan level dan latar belakang yang
bervariasi, b) siswa-siswa melakukan interaksi sosial satu sama lain dalam
bentuk diskusi, curah pendapat, dan sejenisnya, c) tiap-tiap individu memiliki
tanggungjawab dan sumbangannya bagi pencapaian tujuan belajar baik tujuan
individu maupun kelompok, d) dan guru lebih berperan sebagai fasilitator dan coacher
dalam proses pembelajaran.
Beberapa
elemen yang menjadi karakteristik atau ciri pembelajaran kooperatif menurut
Slavin (1995) adalah:
1)
saling ketergantungan positif (positive interdependence),
2)
interaksi tatap muka (face-to-face promotive interaction),
3)
tanggungjawab individual (individual accountability,
4)
keterampilan-keterampilan kooperatif (cooperative skills),
5)
proses kelompok (group proces),
6)
pengelompokan siswa secara heterogen, dan
7)
kesempatan yang sama untuk sukses (equal opportunities for success).
Dengan
kata lain, dalam pembelajaran kooperatif terdapat saling ketergantungan positif
di antara siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Setiap siswa mempunyai
kesempatan yang sama untuk sukses. Aktivitas belajar berpusat pada siswa dalam
bentuk diskusi, mengerjakan tugas bersama, saling membantu dan saling mendukung
dalam memecahkan masalah. Melalui interaksi belajar yang efektif siswa lebih
termotivasi, percaya diri, mampu menggunakan strategi berpikir tingkat tinggi,
serta mampu membangun hubungan interpersonal. Model pembelajaran kooperatif
memungkinkan siswa menguasai materi pada tingkat penguasaan yang relatif sama.
Secara
umum Tim PKP Dikti (2007) menyebutkan ada empat tahap pembelajaran kooperatif
yaitu:
Langkah
Orientasi, guru menyampaikan tujuan, materi, waktu,
langkah-langkah serta hasil akhir yang diharapkan dikuasai oleh siswa, serta
sistem penilaiannya. Pada langkah ini siswa diberi kesempatan untuk
mengungkapkan pendapatnya tentang apa saja, termasuk cara kerja dan hasil akhir
yang diharapkan atau sistem penilaiannya. Negosiasi dapat terjadi antara guru
dan siswa, hingga terjadi kesepakatan bersama di akhir orientasi.
Langkah
Kerja Kelompok, nerupakan tahap inti kegiatan
pembelajaran. Kerja kelompok dapat berbentuk kegiatan memecahkan masalah, atau
memahami dan menerapkan suatu konsep yang dipelajari dengan berbagai cara
seperti berdiskusi, eksplorasi, observasi, percobaan, hingga browsing melalui
internet, dan sebagainya. Guru perlu membuat panduan untuk mengarahkan kegiatan
kelompok. Panduan memuat tujuan, materi, waktu, cara kerja kelompok dan
tanggung jawab masing-masing anggota kelompok, serta hasil akhir yang
diharapkan dapat dicapai.
Langkah
Tes/Kuis, yaitu langkah di mana semua siswa diharapkan telah
mampu memahami konsep/topik/masalah yang sudah dikaji bersama dan mampu
menjawab tes atau kuis untuk mengetahui pemahaman mereka terhadap konsep/topik/
masalah yang dikaji. Penilaian individu ini mencakup penguasaan ranah kognitif,
afektif dan ketrampilan sosial.
Langkah
Penghargaan Kelompok, yaitu langkah untuk memberikan
penghargaan kepada kelompok yang berhasil memperoleh kenaikan skor dalam tes
individu. Kenaikan skor dihitung dari selisih antara skor dasar dengan skor tes
individual. Menghitung skor yang didapat kelompok dengan cara menjumlahkan skor
yang didapat siswa di dalam kelompok tersebut kemudian dihitung rata-ratanya.
Selanjutnya berdasarkan skor rata-rata tersebut ditentukan penghargaan
masing-masing kelompok.
Evaluasi
belajar dilakukan pada awal pelajaran sebagai pra tes, selama pembelajaran,
serta hasil akhir belajar siswa baik individu maupun kelompok. Selama proses
pembelajaran, evaluasi dilakukan dengan mengamati sikap, keterampilan dan
kemampuan berpikir serta berkomunikasi siswa. Kesungguhan mengerjakan tugas,
hasil eksplorasi, kemampuan berpikir kritis dan logis dalam memberikan
pkitangan atau argumentasi, kemauan untuk bekerja sama dan memikul tanggung
jawab bersama, tanggungjawab, keterbukaan, empati, menghormati orang lain,
persatuan, dan lain-lain, merupakan contoh aspek-aspek yang dapat dinilai
selama proses pembelajaran berlangsung. Penilaian dilakukan dalam bentuk
penilaian individu dan kelompok. Penilaian individu adalah evaluasi terhadap
tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang dikaji, meliputi ranah kognitif,
afektif, dan keterampilan. Sedangkan, penilaian kelompok meliputi berbagai
indikator keberhasilan kelompok meliputi kekohesifan, dinamika kelompok,
kepemimpinan, kerjasama, dan sebagainya. Untuk kriteria penilaian dapat
disepakati bersama pada waktu orientasi awal.
Selain
langkah-langkah atau sintak pembelajaran kooperatif secara umum, terdapat
langkah-langkah khusus atau spesifik pembelajaran kooperatif berdasarkan
karakteristik tipe model tertentu. Ada lebih dari 50 tipe model pembelajaran
kooperatif, namun hanya beberapa yang biasa digunakan misalnya langkah
pembelajaran kooperatif tipe STAD (student Team-Achievement Division),
Jigsaw, GI (Group Investigation) dan sebagainya. Berikut ini penjelasan
langkah-langkah atau sintaks beberapa tipe pembelajaran kooperatif tersebut.
Anda sebagai pendidik profesional di abad-21 diharapkan dapat menerapkan
model-model tersebut dalam pembelajaran.
Langkah
atau sintak inti pembelajaran pada kooperatif tipe STAD berdasarkan pendapat
penemunya, yaitu Slavin (1995), adalah:
1)
presentasi materi (oleh guru),
2)
siswa belajar dalam kelompok,
3)
siswa mengerjakan kuis individual,
4)
pemberian skor peningkatan individual, dan
5)
penghargaan kelompok.
Sintak
secara lengkap, jika kita ingin menerapkan pembelajaran pembelajaran kooperatif
tipe STAD adalah:
1)
Orientasi (apersepsi, penyampaian tujuan, dan memotivasi),
2)
guru mempresentasikan materi,
3)
siswa belajar atau berdiskusi dalam kelompok,
4)
siswa mengerjakan kuis individual,
5)
pemberian skor peningkatan individual,
6)
penghargaan kelompok, dan
7)
Penutup (penyampaian review dan tindak lanjut).
Bagi
anda yang ingin menerapkan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, sebagaimana
dikemukakan oleh penemunya (Sharan& Sharan, dalam Slavin, 1995), prosedur
pembelajaran tipe Jigsaw adalah:
1)
pemberiaan materi yang sudah dipecah berikut lembar kerja ahli (expert
sheet) kepada kelompok asal (home team),
2)
diskusi kelompok ahli (expert team) yang terdiri dari gabungan
anggota-anggota kelompok asli dengan materi yang sama mendalami materi
tersebut,
3)
diskusi kelompok asli (home team) di mana setiap anggota menjelaskan
materi masing-masing kepada anggota lain dalam kelompoknya,
4)
mengerjakan kuis dengan bahan semua materi yang dipelajari,
5)
pemberian penghargaan kelompok.
Sama
seperti tipe model pembelajaran kooperatif yang lain, dalam tipe Jigsaw ini
anda dapat menambah sintaks di awal dengan Orientasi dan Penutup di mana guru
menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Langkah
Orientasi dipandang penting sesuai kultur sosial kehidupan kita yaitu
1. pemberian
pengantar atau petunjuk belajar,
2. penyampaian
tujuan pembelajaran,
3. pengaktivan
pengetahuan awal (apersepsi), dan
4. memotivasi
belajar siswa.
Sedangkan
tahap Penutup merupakan langkah closing pembelajaran di mana guru perlu
memberikan peneguhan pengusaan materi yang dipelajari, bisa juga berupa
pemberian rangkuman, atau diberikan pesan-pesan moral yang relevan dalam rangka
pendidikan karakter secara terintegrasi.
Model
pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation (GI) atau Investigasi
Kelompok yang ditemukan oleh Herbart Thelen (1960) yang mengacu pada pendapat
John Dewey (1916) tentang demokrasi dalam pendidikan. Thelen menyatakan bahwa
hendaknya kelas dapat menjadi miniatur demokrasi yang bertujuan mengkaji
masalah-masalah sosial antar pribadi (Arends, 1998). Sesuai dengan pendapat
Arends tersebut sekaitan dengan pmbelajaran sosial, Martorella mencoba
menerapkan model GI ini dalam pendidikan ilmu sosial (social studies). Joyce
& Weil (1996: 73) dan disarikan oleh Winataputra (2001: 35-36) merumuskan
sintak pembelajaran model GI ke dalam enam tahap, yaitu tahap:
1)
siswa dihadapkan pada situasi yang problematis,
2)
siswa melakukan eksplorasi sebagai respon terhadap situasi yang problematis
itu,
3)
siswa merumuskan tugas-tugas belajar (learning task) dan
mengorganisasikannya untuk membangun proses pendidikan,
4)
siswa melakukan kegiatan belajar individual dan kelompok,
5)
siswa menganalisis kemajuan dan proses yang dilakukan dalam proses penelitian
kelompok, dan
6)
melakukan proses pengulangan kegiatan.
Kemdikbud
(2017) juga menjelaskan bahwa model GI atau investigasi kelompok memberikan
pengalaman kepada siswa dalam memecahkan suatu permasalahan dengan caranya
sendiri dan dibicarakan dalam kelompok secara demokratis. Secara umum
pembelajaran dengan model GI menurut Depdiknas tersebut mencakup enam tahap,
yaitu:
1)
memilih topik,
2)
perencanaan kooperatif,
3)
implementasi,
4)
analisis dan sintesis,
5)
presentasi hasil final, dan
6)
evaluasi.
Kegiatan
pembelajaran dengan model GI secara rinci mencakup:
1)
siswa dibagi kedalam kelompok (4-5 orang);
2)
guru memberikan pengarahan tentang hal-hal yang harus dilakukan oleh siswa di
masing-masing kelompok;
3)
siswa dihadapkan pada suatu situasi yang memerlukan pemecahan atau suatu
keputusan yang harus ditentukan;
4)
siswa mengeksplorasi situasi tersebut;
5)
siswa merumuskan tugas-tugas yang harus dilakukan dalam menghadapi situasi
tersebut, antara lain merumuskan masalah, mennetukan peran anggota kelompok,
dan merumuskan alternatif cara yang akan digunakan;
6)
dalam melaksanakan tiga langkah di atas, siswa dapat dibimbing oleh guru (guru
bertindak sebagai mentor);
7)
masing-masing kelompok melaksanakan kerja mandiri;
8)
siswa melakukan pengecekan terhadap kemajuan dalam menyelesaikan tugasnya,
kemudian hasil tugas kelompoknya dipresentasikan di depan kelas agar siswa lain
memiliki perspektif lebih luas tentang topik yang dipelajari; dan
9)
siswa saling memberikan umpan balik mengenai topik yang telah dikerjakan
berdasarkan tugas masing-masing kelompok, selanjutnya siswa bersama guru
mengevaluasi pembelajaran.
Untuk
menambah wawasan Anda tentang beberapa model pembelajaran kooperatif, silakan
buka dan cermati video contoh model pembelajaran tentang penerapan model
pembelajaran kooperatif dengan cara mengklik link berikut ini.
video
1
https://www.youtube.com/watch?v=2Q6nHGBb6U4
video 2
https://www.youtube.com/watch?v=bsI9PYgc75Y
video
3
https://www.youtube.com/watch?v=pbUmJcCbDCQ
Dengan
menyimak dan menganalisis tahapan pada tiga rangkaian video di atas, Anda dapat
mengidentifikasi tipe model koopertaif apa yang digunakan dalam contoh
pembelajaran tersebut berdasarkan sintaknya.
2.
Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
Model
Pembelajaran Berbasis Masalah atau Problem Based Learning (PBL) menurut
Arends (1997: 2001; 2004: 406) dalam bukunya yang berjudul Learning to Teach,
sering disebut sebagai model Anchored Instruction dan Authentic
Learning. Arends selanjutnya memaparkan bahwa model PBL merupakan model
pembelajaran yang memberikan berbagai situasi permasalahan kepada siswa dan
dapat berfungsi sebagai batu loncatan dalam penyelidikan.
Model
PBL menyuguhkan situasi atau berbagai masalah otentik yang mendorong siswa
untuk melakukan investigasi dan penyelidikan. Putu Arnyana (2004)
mendeskripsikan pembelajaran berbasis masalah tersebut sebagai pembelajaran
yang dirancang berdasarkan masalah riil kehidupan yang bersifat tidak tentu,
terbuka, dan mendua. Model
pembelajaran ini dilandasi oleh teori konstruktivistik yang mengakomodasi
keterlibatan siswa dalam belajar dan pemecahan masalah otentik.
Pada
model ini dalam pemerolehan informasi dan pengembangan pemahaman tentang
topik-topik, siswa belajar bagaimana mengkonstruksi kerangka masalah,
mengorganisasikan dan menginvestigasi masalah, mengumpulkan dan menganalisis
data, menyusun fakta, mengkonstruksi argumentasi mengenai pemecahan masalah,
dan bekerja secara individual atau kolaborasi dalam pemecahan masalah.
Mengacu
pada pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
berbasis masalah merupakan kerangka konseptual tentang proses pembelajaran yang
menggunakan masalah-masalah riil dalam kehidupan nyata (otentik), bersifat
tidak tentu, terbuka dan mendua untuk merangsang dan menantang siswa berpikir
kritis untuk memecahkannya. Dalam pemecahan masalah tersebut, sebagaimana
dikemukakan oleh Tan (dalam Rusman, 2014), siswa menggunakan berbagai macam
kecerdasan yang diperlukan untuk melakukan konfrontasi terhadap tantangan dunia
nyata, kemampuan untuk menghadapi segala sesuatu yang baru dan kompleksitas
yang ada.
Suatu
pembelajaran dikatakan menerapkan model PBL jika pembelajaran tersebut memiliki
ciri-ciri sebagaimana dikemukakan oleh Putu Arnyana (2004) sebagai berikut:
a)
terdapat kegiatan mengajukan pertanyaan atau masalah,
b)
pembelajaran terfokus pada keterkaitan antar disiplin,
c)
penyelidikan autentik,
d)
siswa menghasilkan produk berupa karya nyata seperti laporan,
e)
kerjasama, siswa bekerjasama kelompok.
Arends
(2004: 406) mengemukakan ada 5 fase (tahap) yang perlu dilakukan untuk
mengimplementasikan PBL. Kelima tahap model PBL tersebut secara rinci dapat
dilihat pada tabel sintak model PBL di bawah ini.
Tabel
1. Sintak Model PBL (Arends, 1996; 2004)
Langkah-langkah
Pokok
Tahap
1
Orientasikan
siswa pada masalah aktual dan otentik
Guru
Menyampaikan tujuan pembelajaran, menyiapkan dan memotivasi siswa untuk
terlibat aktif dalam pemecahan masalah, Guru mendiskusikan rubric asesmen yang
akan digunakan dalam menilai kegiatan/hasil karya siswa
Siswa
Memperhatikan tujuan yang harus dikuasai, menerima dan memahami masalah yang
dipresentasikan guru, siswa berada dalam kelompoknya sampai semua jelas trhadap
penyelesaiannya.
Tahap 2:
Mengorganisasikan
siswa untuk belajar
Guru
membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah tersebut
Siswa
Membatasi permasalahan yang akan dikaji
Tahap
3:
Membimbing
penyelidikan individu maupun kelompok
Guru
mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan
eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
Siswa
Melakukan inkuiri, investigasi, dan bertanya untuk mendapatkan jawaban atas
permasalahan yang dihadapi
Tahap
4:
Mengembangkan
dan menyajikan hasil karya
Guru
membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti
laporan, video, dan model dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan
temannya.
Siswa
Menyusun laporan dalam kelompok dan menyajikannya dalam diskusi kelas
Tahap
5:
Menganalisis
dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Guru
membantu siswa untuk melakukan efleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan
mereka dan proses-proses yang mereka gunakan
Siswa
Mengikuti tes dan menyerahkan tugas-tugas sebagai bahan evaluasi proses belajar
Sistem
sosial dalam model ini antara lain adalah interaksi guru dengan siswa lebih
dekat dalam proses teacher-asisted instruction, peran guru sebagai transmitter
pengetahuan menjadi berkurang, interaksi sosial makin efektif, dan siswa
berlatih menginvestigasi masalah yang kompleks. Prinsip reaksi yang dapat
dikembangkan adalah peranan guru sebagai pembimbing dan negosiator. Peran-peran
tersebut dapat ditampilkan secara lisan selama proses pendefinisian dan
pengklarifikasian masalah. Sarana pendukung model pembelajaran ini meliputi
lembaran kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar siswa dan guru, artikel,
jurnal, kliping, peralatan demonstrasi atau eksperimen yang sesuai, model
analogi, meja dan kursi yang mudah dimobilisasi atau ruang kelas yang telah
dikondisikan.
Dampak
pembelajaran (instructional effect) model PBL adalah pemahaman tentang
kaitan pengetahuan dengan dunia nyata, dan bagaimana menggunakan pengetahuan
dalam pemecahan masalah kompleks. Dampak pengiringnya adalah mempercepat
pengembangan self-regulated learning, siswa terbentuk kemampuan berpikir
kritisnya, keterampilan sosial dan karakter siswa meningkat, seperti: sikap
kerjasama, tangungjawab, peduli, toleran, dan sebagainya. Anda dapat mencermati
video contoh penerapan model PBL pada link berikut ini atau pada …(materi 2
daring)
https://www.youtube.com/watch?v=YMFrrrT5C8w
Setelah
mengamati dan mengidentifikasi tahapan (sintak) pembelajaran pada video
tersebut, analisislah kesesuaiannya dengan sintak model mengacu pada konsep
PBL.
3.
Model Pembelajaran Project Based Cooperative Learning
Model
project based cooperative learning atau PjBCL merupakan model yang
dikembangkan berdasarkan penerapan projek dengan melibatkan siswa menyelidiki
masalah dunia nyata melalui kelompok kooperatif (Yam & Rosini, 2010: 1).
Penerapan pembelajaran projek merupakan salah satu cara yang dapat Anda pilih sebagai
guru untuk melibatkan siswa dengan materi atau konten pembelajaran mereka.
Model dengan projek ini dipandang menarik karena memiliki format instruksional
yang inovatif di mana siswa dapat memilih berbagai aspek tugas dan termotivasi
oleh masalah lingkungan sekitar bahkan mungkin akan memberikan kontribusi
kepada mereka (Bender, 2012: 7). Projek pembelajaran pada model ini
dilaksanakan secara kelompok kooperatif dengan siswa-siswa yang heterogen
sebagai anggotanya.
Pengembangan
model project based learning dengan konsep kelompok kooperatif ditujukan
untuk lebih mempermudah pengimplementasian projek dalam pembelajaran melalui
kegiatan kelompok. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan
pembelajaran projek yaitu membutuhkan banyak waktu dan biaya untuk
menyelesaikan sebuah projek. Projek yang dilaksanakan secara kooperatif akan
lebih efektif serta menghemat waktu dan biaya. Pembelajaran kooperatif sangat
cocok untuk mengorganisasi kegiatan dalam pembelajaran berbasis projek sehingga
menjadi model gabungan bernama project based cooperative learning (Wang,
2008: 265). Pada model ini suatu situasi perlu diciptakan di mana tujuan
individu dapat dicapai hanya ketika kelompok itu bekerjasama demi kerhasilan
menyelesaikan projek. Dengan cara ini hubungan yang kompetitif di antara para
peserta didik telah diubah menjadi "kerja sama dari dalam" dan
"kompetisi dari luar". Selanjutnya komunikasi tradisional antara
pendidik dan peserta didik telah diubah menjadi komunikasi multi-arah.
Model
ini dikembangkan mengacu pada model project based learning yang secara
khusus mengajukan satu atau lebih masalah (problem) yang harus dipecahkan oleh
siswa melalui projek. Pendekatan pembelajaran berbasis projek menggunakan
tahapan produksi, yaitu: siswa menetapkan tujuan untuk pembuatan produk akhir
dan mengidentifikasi audien mereka. Selanjutnya, siswa mengkaji topik,
mendesain produk, dan membuat perencanaan pengelolaan projek. Siswa kemudian
memulai projek, memecahkan masalah dan isu-isu yang timbul dalam produksi,
serta menyelesaikan produk mereka. Siswa mungkin menggunakan atau menyajikan
produk yang mereka buat dan idealnya mereka diberi waktu untuk mengevaluasi
hasil kerja mereka (Moursund, Bielefeldt, & Underwood; Oakey; dalam Waras
2004). Sejalan dengan paparan tersebut, Hosnan (2013: 325) menjabarkan tahapan
pembelajaran berbasis projek dalam 6 langkah yaitu:
1)
menentukan pertanyaan mendasar,
2)
mendesain perencanaan projek,
3)
menyusun jadwal,
4)
memonitor peserta didik dan kemajuan projek,
5)
menguji hasil, dan
6)
mengevaluasi pengalaman.
Model
project based cooperative learning dikembangkan sintak dengan prinsip
pemerataan kelompok heterogen dan kerja sama dalam penyelesaian projek maupun
diskusi. Hal utama dalam model ini adalah efektivitas projek yang dilaksanakan
dalm kegiatan pembelajaran. Berikut sintak model PjBCL yang dapat Anda
diterapkan:
Tabel
2. Sintak Model PjBCL (Wang, 2008: 2655)
Tahap
1
Siswa
diberikan pembelajaran dasar terkait tema.
Guru
menentukan apakah akan menerapkan PjBCL
Tahap 2
Siswa
memilih topik penelitian dan memperjelas tujuan pembelajaran
Guru
menganalisis tujuan pengajaran dan membimbing siswa untuk memilih topic
Tahap 3
Siswa
membetuk kelompok kooperatif
Guru
menganalisis karakteristik siswa dan mengelompokkan siswa dengan cara yang
heterogen dan komplementer
Tahap 4
Siswa
memecahkan masalah, membagi peran, membagi pekerjaan dalam kelompok, dan
memperjelas tugas kelompok dan individu
Guru
menganalisis tugas dan menciptakan situasi pertanyaan, dan membangun kelompok
kasus
Tahap 5
Siswa
secara kooperatif menyusun dan merancang rencana untuk kelompok dan individu
Guru
menciptakan lingkungan yang kooperatif
Tahap 6
Siswa
melakukan penelitian kooperatif
Guru
bertindak sebagai penyelenggara, pengamat, instruktur, dan konselor
Tahap
7
Siswa
bertukar dan merangkum hasil proyek
Guru
mengomentari hasil dan keteraturan proyek
Tahap
8
Secara
bersama mengevaluasi hasil pembelajaran dengan cara ringkasan
Guru
mengevaluasi hasil belajar melalui komentar dan membimbing siswa dari praktik
ke teori
Sesuai
konsep pembelajaran kooperatif, pada model pembelajaran project based
cooperative learning Anda, sebagai guru, dapat melakukan proses penilaian
bersama siswa. Proses penilaian oleh guru dilakukan dengan mengevaluasi proses
belajar melalui penilaian terhadap peran masing-masing anggota sesuai tugasnya,
penilaian perilaku kerjasama dalam kelompok kooperatif, dan penilaian seluruh
kelompok kooperatif, serta memberikan umpan balik pada waktunya. Sedangkan
penilaian proses pembelajaran oleh siswa dilakukan dengan mengevaluasi proses
pembelajaran melalui penilaian diri dari peran yang sesuai dalam tugas
kelompok, penilaian timbal balik dan penilaian perilaku kooperatif dalam
kelompok kooperatif dan penilaian seluruh kelompok kooperatif.
Sistem
sosial pada model project based cooperative learning mengacu pada konsep
kooperatif yang dikenal dengan istilah pembelajaran gotong royong yaitu sistem
pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerjasama dengan
peserta didik lain dalam tugas yang terstruktur (Lie, 2008: 28). Anda dapat
melibatkan siswa dalam pengalaman nyata atau proyek dan menjadi pembelajaran
yang mandiri berpusat pada siswa atau student center melalui model ini.
Seperti disampaikan Parkay (2010: 387), penerapan projek dalam pembelajaran
merupakan cara untuk melibatkan para peserta didik, mengurangi ketidakhadiran,
meningkatkan keterampilan pembelajaran kooperatif, dan meningkatkan skor tes.
Secara
umum, dalam model project based cooperative learning guru berperan
sebagai fasilitator bagi kegiatan siswa dalam melaksanakan projek secara
kooperatif. Dengan bantuan guru siswa dapat meningkatkan kemampuan yang
dimiliki melalui proses pembelajaran. Model ini membutuhkan kemandirian dan
kemampuan berpikir tinggi dari siswa untuk menentukan topik hingga
menyelesaikan projek, sehingga dapat dilaksanakan sepenuhnya mulai pada jenjang
SMP dan SMA/SMK.
Penerapan
model ini dilakukan dengan memberikan siswa tugas mengembangkan tema/ topik
pembelajaran dengan melakukan kegiatan projek yang realistik. Sebagaimana
disampaikan Bender (2012: 7), pembelajaran yang menggunakan projek menjadikan
pembelajaran tersebut menarik karena tugas yang diberikan dihubungkan dengan
masalah yang ada di dunia nyata. Penerapan pembelajaran projek mendorong
tumbuhnya kreativitas, kemandirian, tanggungjawab, kepercayaan diri, serta
berpikir kritis dan analitis pada siswa. Berkaitan dengan hal ini perlu ada
sistem dukungan dari lingkungan siswa. Pengimplementasian model ini diharapkan
dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan karakter siswa dengan pendekatan
ilmiah melalui projek dan pemerataan penyampaian informasi melalui kelompok
kooperatif.
Model
PjBCL termasuk model yang jarang digunakan karena masih banyak guru yang belum
mengetahui model pembelajaran gabungan ini. Umumnya, guru baru mengenal model project
based learning. Berikut ini contoh video penerapan model project based
cooperative learning pada pembelajaran:
https://www.youtube.com/watch?v=wJz6QgSGGTs
Anda
dapat menganalisis tahapan model pembelajaran pada video ini, untuk selanjutnya
dapat dijadikan pilihan model yang dapat diterapkan di sekolah guna
meningkatkan kemampuan berpikir siswa.
4.
Model Pembelajaran Simulasi (role playing)
Penggunaan
model simulasi sudah diterapkan di dalam dunia pendidikan lebih dari tiga puluh
tahun. Model pembelajaran ini berasal dari penerapan prinsip sibernetik.
Belajar dengan konsep sibernetik adalah proses mengalami konsekuensi lingkungan
secara sensorik dan melibatkan perilaku koreksi diri (self corrective
behavior) sehingga tercipta suatu lingkungan yang dapat menghasilkan umpan
balik yang optimal bagi siswa. Pelaksanaan model simulasi pada dasarnya digunakan
untuk mengembangkan pemahaman dan penghayatan terhadap suatu peristiwa yang
lebih banyak mengarah kepada psikomotor agar kegiatan lebih bermakna bagi
siswa.
Penyajian
yang nyata pada model simulasi melibatkan siswa secara aktif dalam berinteraksi
dengan situasi di lingkungannya. Siswa mengaplikasikan pengetahuan yang telah
dipelajari sebelumnya dengan memperagakan dalam bentuk replikasi dan
visualisasi. Hal ini berguna untuk untuk memberikan respons (membuat keputusan
atau melakukan tindakan) untuk mengatasi masalah/situasi dan menerima umpan
balik tentang respons tersebut (Rheba & Thompson dalam Anitah, 2007).
Penerapan model simulasi menurut Trianto (2010: 140-141) terdapat beberapa
jenis, diantaranya
1)
sosiodrama,
2)
psikodrama,
3)
role playing atau bermain peran,
4)
peer teaching dan
5)
simulasi game.
Penerapan
model simulasi memiliki empat tahap menurut Joyce, Weil dan Calhoun, (2009:
441-442).
Tahap
pertama yaitu orientasi, guru menyampaikan topik yang akan dibahas dan konsep
yang akan digunakan dalam aktivitas simulasi.
Tahap
kedua, yaitu persiapan simulasi atau latihan partisipasi. Pada tahap ini guru
menyusun sebuah skenario yang memaparkan peran, aturan, proses, skor, jenis,
keputusan yang akan dibuat dan tujuan simulasi. Guru memimpin praktik dalam
jangka waktu singkat untuk memastikan bahwa siswa telah memahami semua arahan
dan bisa melaksanakan perannya masing-masing.
Tahap
ketiga, yaitu pelaksanaan simulasi. Siswa berpartisipasi dalam permainan atau
simulasi, dan guru/dosen juga memainkan perannya sebagai wasit dan pelatih.
Secara periodik, permainan simulasi bisa dihentikan sehingga siswa dapat
menerima umpan balik, mengevaluasi penampilan dan keputusan mereka serta
mengklarifikasi kesalahan-kesalahan konsepsi.
Tahap
keempat adalah wawancara partisipasi. Berdasarkan hasil yang diperoleh, guru
dapat membantu siswa fokus pada hal-hal melalui wawancara partisipasi. Berikut
ini tabel sintak model pembelajaran simulasi yang dapat diterapkan disekolah.
Tabel
3. Sintak Model Simulasi Adaptasi Joyce, Weil dan Calhoun (2009:442)
Tahap
Pertama: Orientasi
Tahap
Kedua:Latihan Partisipasi
-
Menyajikan topik luas mengenai simulasi dan konsep yang dipakai dalam aktivitas
simulasi
-
Menjelaskan simulasi dan perma-inan
-
Menyajikan ikhtisar simulasi
-
Membuat skenario (aturan peran, prosedur, skor, tipe, keputusan yang akan
dipilih dan tujuan
-
Menugaskan peran
-
Melaksanakan praktik dalam jangka waktu yang singkat
Tahap
Ketiga: Pelaksanaan Simulasi
Tahap
Keempat:Wawancara Partisipan
-
Memimpin aktivitas permainan dan administrasi permainan
-
Mendapatkan umpan balik dan evaluasi (mengenai penampilan dan pengaruh
keputusan)
-
Menjelaskan kesalahan persepsi
-
Melanjutkan simulasi
-
Menyimpulkan kejadian dan persepsi
-
Menyimpulkan kesulitan dan pandangan-pandangan
-
Menganalisis proses
-
Membandingkan aktivitas simulasi dengan dunia nyata
-
Menghubungkan aktivitas simulasi dengan materi pembelajaran
-
Menilai dan kembali merancang simulasi
Sistem
sosial dalam model simulasi sangat kental, karena guru di dalam simulasi harus
dengan sengaja memilih aktivitas simulasi dengan cermat dan mengarahkan siswa
pada aktivitas yang telah digambarkan dimana kegiatan yang akan dilakukan telah
dirancang secara utuh dan padat mengenai suatu proses terstruktur. Senada dengan
apa yang diungkapkan oleh Winataputra (2001: 68) bahwa model simulasi termasuk
dalam model yang terstruktur. Dalam hal ini guru sangat berperan dalam
merancang dan mengkondisikan pembelajaran dalam suatu proses yang terstruktur
dan memperhatikan kerjasama antar peserta. Oleh karena itu menurut Joyce, Weil
dan Calhoun (2009: 443) dalam sistem pembelajaran yang terstruktur ini dapat
mengembangkan lingkungan pembelajaran dengan interaksi kooperatif. Kesuksesan
terakhir dalam simulasi juga ditentukan oleh kerja sama dan kemauan untuk
berpartisipasi dalam diri siswa.
Di samping mempelajari peran dan menjalankan suatu peran yang ditugaskan kepadanya, siswa juga dilibatkan dalam aktivitas kerjasama. Dengan kerjasama siswa bisa saling membagi gagasan dan saling mengevaluasi antar teman sebaya di samping evaluasi guru. Oleh karena itu sistem sosial dalam model simulasi seharusnya dapat menciptakan aktivitas pembelajaran yang menyenangkan dan penuh dengan kerjasama.
Di samping mempelajari peran dan menjalankan suatu peran yang ditugaskan kepadanya, siswa juga dilibatkan dalam aktivitas kerjasama. Dengan kerjasama siswa bisa saling membagi gagasan dan saling mengevaluasi antar teman sebaya di samping evaluasi guru. Oleh karena itu sistem sosial dalam model simulasi seharusnya dapat menciptakan aktivitas pembelajaran yang menyenangkan dan penuh dengan kerjasama.
Seperti
halnya cooperative learning, dalam model simulasi guru berperan sebagai
fasilitator, terutama dalam memfasilitasi pemahaman dan penafsiran tentang
aturan kegiatan simulasi. Hal paling penting yang perlu dilakukan oleh guru
adalah memberikan reaksi berupa umpan balik atau menarik benang merah terkait
makna dari simulasi yang telah dilakukan. Joyce, Weil dan Calhoun (2009: 440)
merumuskan empat hal yang perlu dilakukan guru (pendidik) dalam model simulasi,
yaitu:
1)
Menjelaskan kepada siswa tentang aturan-aturan kegiatan simulasi, agar siswa
memahami aturan-aturan yang cukup memadai untuk bisa melaksanakan
aktivitas-aktivitas simulasi.
2)
Mewasiti dan melihat apakah peraturan benar-benar diikuti dan ditaati, namun
guru seharusnya tidak terlalu ikut campur dalam kegiatan simulasi.
3)
Melatih dan menjadi penasehat yang sportif bukan seorang pendakwah atau seorang
ahli suatu disiplin ilmu.
4)
Melakukan diskusi bersama siswa tentang bagaimana kaitan simulasi dengan dunia
nyata, kesulitan dan pandangan yang dimiliki siswa dan hubungan yang ditemukan
antara simulasi dengan materi yang dipelajari.
Sarana
yang diperlukan dalam menerapkan model pembelajaran simulasi ini juga
bervariasi. Sarana tersebut dapat berupa sesuatu yang sederhana dan murah
seperti kartu dan kelereng, dapat pula berupa sesuatu yang kompleks dan mahal
seperti simulator elektronik (Winataputra, 2001:68). Sarana tersebut diperlukan
untuk menunjang efektivitas simulasi untuk mendekati situasi nyata yang
diinginkan. Dalam model pembelajaran simulasi ditemukan dampak instruksional
seperti: kapasitas pengajaran-diri, pengetahuan dan skill, dan
kepercayaan diri sebagai siswa. Sedangkan dampak pengiringnya antara lain
responsif pada umpan balik, kemandirian sebagai siswa, dan sensitivitas pada
hubungan sebab dan pengaruh (Joyce, Weil dan Calhoun, 2009: 444).
Salah
satu bentuk model simulasi adalah role playing atau bermain peran.
Penerapan model simulasi dalam bentuk role playing dapat Anda simak dan
pahami pada link video berikut ini.
Video
ini dapat dijadikan sebagai gambaran model simulasi di sekolah guna
meningkatkan aktivitas belajar siswa.
RANGKUMAN
Setelah mempelajari materi ini, dapat disimpulkan bahwa:
1. Pendekatan saintifik merupakan bagian dari pendekatan pedagogis dalam kegiatan pembelajaran yang melandasi penerapan metode ilmiah. Tahapan dalam pembelajaran dengan pendekatan saintifik, meliputi a) mengamati; b) menanya; c) mencoba/ mengumpulkan informasi; d) menalar/ mengasosiasi; dan e) melakukan komunikasi.
2. Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran dengan unsur-unsur yang mencakup a) sintakmatik, b) sistem sosial, c) prinsip reaksi, d) sistem pendukung, dampak instruksional dan pengiring.
3. Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang terstruktur secara sistematis di mana siswa bekerjasama dalam kelompok-kelompok kecil dengan anggota antara empat sampai lima orang secara heterogen untuk mencapai tujuan bersama. Empat tahap pembelajaran kooperatif, meliputi: orientasi, bekerja kelompok, kuis, dan pemberian penghargaan.
4. Model pembelajaran berbasis masalah atau problem based learning (PBL) merupakan kerangka konseptual tentang proses pembelajaran yang menggunakan masalah-masalah riil dalam kehidupan nyata (otentik), bersifat tidak tentu, terbuka dan mendua untuk merangsang dan menantang siswa berpikir kritis untuk memecahkannya. Tahapan pada model pembelajaran PBL meliputi: a) orientasikan siswa pada masalah aktual dan otentik; b) mengorganisasikan siswa untuk belajar; c) membimbing penyelidikan individu maupun kelompok; d) mengembangkan dan menyajikan hasil karya; dan e) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
5. Model pembelajaran Project Based Cooperative Learning (PjBCL) merupakan model yang dikembangkan berdasarkan penerapan proyek dengan melibatkan siswa menyelidiki masalah dunia nyata dalam kolaboratif lingkungan melalui kelompok kooperatif. Tahapan model ini meliputi: a) menyampaikan pembelajaran mendasar, b) menentukan topik penelitian, c) membentuk kelompok kooperatif, d) mendesain Perencanaan Proyek, e) menyusun Jadwal dan perencanaan, f) penelitian kooperatif, g) menguji, bertukar dan merangkum hasil proyek, dan h) mengevaluasi hasil pembelajaran
6. Model pembelajaran simulasi merupakan model yang digunakan untuk mengembangkan pemahaman dan penghayatan terhadap suatu peristiwa yang lebih banyak mengarah kepada psikomotor agar kegiatan lebih bermakna bagi siswa. Tahapan pada model simulasi meliputi: Orientasi, Latihan Partisipasi, Pelaksanaan Simulasi, dan Wawancara Partisipan.
RANGKUMAN
Setelah mempelajari materi ini, dapat disimpulkan bahwa:
1. Pendekatan saintifik merupakan bagian dari pendekatan pedagogis dalam kegiatan pembelajaran yang melandasi penerapan metode ilmiah. Tahapan dalam pembelajaran dengan pendekatan saintifik, meliputi a) mengamati; b) menanya; c) mencoba/ mengumpulkan informasi; d) menalar/ mengasosiasi; dan e) melakukan komunikasi.
2. Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran dengan unsur-unsur yang mencakup a) sintakmatik, b) sistem sosial, c) prinsip reaksi, d) sistem pendukung, dampak instruksional dan pengiring.
3. Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang terstruktur secara sistematis di mana siswa bekerjasama dalam kelompok-kelompok kecil dengan anggota antara empat sampai lima orang secara heterogen untuk mencapai tujuan bersama. Empat tahap pembelajaran kooperatif, meliputi: orientasi, bekerja kelompok, kuis, dan pemberian penghargaan.
4. Model pembelajaran berbasis masalah atau problem based learning (PBL) merupakan kerangka konseptual tentang proses pembelajaran yang menggunakan masalah-masalah riil dalam kehidupan nyata (otentik), bersifat tidak tentu, terbuka dan mendua untuk merangsang dan menantang siswa berpikir kritis untuk memecahkannya. Tahapan pada model pembelajaran PBL meliputi: a) orientasikan siswa pada masalah aktual dan otentik; b) mengorganisasikan siswa untuk belajar; c) membimbing penyelidikan individu maupun kelompok; d) mengembangkan dan menyajikan hasil karya; dan e) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
5. Model pembelajaran Project Based Cooperative Learning (PjBCL) merupakan model yang dikembangkan berdasarkan penerapan proyek dengan melibatkan siswa menyelidiki masalah dunia nyata dalam kolaboratif lingkungan melalui kelompok kooperatif. Tahapan model ini meliputi: a) menyampaikan pembelajaran mendasar, b) menentukan topik penelitian, c) membentuk kelompok kooperatif, d) mendesain Perencanaan Proyek, e) menyusun Jadwal dan perencanaan, f) penelitian kooperatif, g) menguji, bertukar dan merangkum hasil proyek, dan h) mengevaluasi hasil pembelajaran
6. Model pembelajaran simulasi merupakan model yang digunakan untuk mengembangkan pemahaman dan penghayatan terhadap suatu peristiwa yang lebih banyak mengarah kepada psikomotor agar kegiatan lebih bermakna bagi siswa. Tahapan pada model simulasi meliputi: Orientasi, Latihan Partisipasi, Pelaksanaan Simulasi, dan Wawancara Partisipan.
Posting Komentar untuk "Uraian Lengkap Model Model Pembelajaran dengan Pendekatan Saintifik"