Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Uraian Lengkap Model Model Pembelajaran dengan Pendekatan Saintifik

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN dengan Pendekatan Saintifik

Uraian Materi
Proses pendidikan abad-21 dapat kita wujudkan melalui penyelenggaraan proses pembelajaran yang mendidik dan yang berkualitas sesuai paradigma pendidikan abad-21. Dalam paradigma tersebut, pembelajaran perlu kita selenggarakan untuk mengembangkan seluruh potensi siswa secara holistik (utuh) melalui penggunaan atau penerapan pendekatan, model dan metode pembelajaran yang lebih inovatif, berpusat pada keaktifan belajar siswa (student centered learning-SCL), kontekstual, serta memanfaatkan aneka sumber belajar dan teknologi pendidikan secara integratif dengan materi pembelajaran yang Anda ajarkan.

Dalam Materi ini Anda dapat mempelajari tentang pendekatan saintifik dan model-model pembelajaran sebagaimana tersebut pada pokok materi di atas. Setelah memahami kedua materi tersebut Anda diharapkan dapat menerapkannya dalam pembelajaran. Nah, untuk menambah wawasan, Anda dapat mencermati video tentang contoh penerapan pendekatan saintifik dan model-model pembelajaran berbasis SCL pada link yang diberikan.

A. Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran
Pembelajaran pada kurikulum 2013 dilaksanakan mengacu pada pembelajaran dengan pendekatan saintifik (scientific approach) sebagaimana disebutkan pada Permendikbud No. 103 tahun 2014. Pendekatan ini merupakan bagian dari pendekatan pedagogis dalam kegiatan pembelajaran yang diarahkan pada penerapan metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan serangkaian aktivitas pengumpulan data melalui observasi atau eksperimen, mengolah informasi atau data, menganalisis, kemudian memformulasi, dan menguji hipotesis. Nusfiqon & Nurdyansyah (2015:51) menyebutkan bahwa pendekatan saintifik dalam kegiatan pembelajaran bukan hanya mengembangkan kompetensi peserta didik untuk melakukan kegiatan observasi atau eksperimen saja, tetapi juga mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif peserta didik dalam berinovasi atau berkarya. Pendekatan saintifik dapat mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan siswa.

Secara umum, pembelajaran dilaksanakan melalui kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup. Pada pendekatan saintifik, kegiatan pendahuluan dilakukan untuk memantapkan pemahaman peserta didik tentang pengetahuan awal yang telah dikuasai dilanjutkan dengan penyampaian tujuan pembelajaran sehingga menimbulkan rasa ingin tahu yang tinggi. Rasa ingin tahu tersebut dapat menjadi dasar yang kuat untuk belajar pada kegiatan inti. Pada kegiatan inti peserta didik melakukan kegiatan belajar dengan metode ilmiah. Agar kegiatan pembelajaran inti dapat menjadi terarah dan bermakna, maka pendidik harus menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) secara sistematis sesuai langkah metode ilmiah.

Dalam rancangan tersebut peserta didik diarahkan dan dibimbing untuk mengkonstruksi pengetahuan, sikap, serta keterampilannya melalui mengamati, menanya, menalar, mencoba,
dan mengkomunikasikan. Sementara pada kegiatan penutup siswa diarahkan untuk melakukan validasi temuan serta pengayaan materi yang telah dipelajari. Sani (2017:53) memaparkan lima tahapan pendekatan saintifik yang sesuai dengan Permendikbud Nomor 65 tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, yaitu
(1) mengamati;
(2) menanya;
(3) mencoba/mengumpulkan informasi;
(4) menalar/mengasosiasi;
(5) dan membentuk jejaring/melakukan komunikasi.

Langkah-langkah tersebut dapat ditambahkan dengan mencipta. Tahapan pendekatan saintifik tidak harus dilakukan secara urut, akan tetapi dapat dilakukan sesuai dengan pengetahuan yang akan dipelajari. Berikut ini penjabaran tahapan pembelajaran dengan pendekatan saintifik (dalam Sufairoh, 2016:121-122).
1. Mengamati, merupakan kegiatan mengidentifikasi suatu objek melalui penginderaan, yaitu melalui indera penglihat (membaca, menyimak), pembau, pendengar, pencecap dan peraba pada saat mengamati suatu objek menggunakan ataupun tidak menggunakan alat bantu sehingga siswa dapat mengidentifikasi suatu masalah.

2. Menanya, merupakan kegiatan mengungkapkan suatu hal yang ingin diketahuinya baik yang berkenaan dengan suatu objek, peristiwa, suatu proses tertentu. Pertanyaan dapat diajukan secara lisan mapun tulisan dan dapat berupa kalimat pertanyaan atau kalimat hipotesis sehingga siswa dapat merumuskan masalah dan hipotesis.
3. Mengumpulkan data, merupakan kegiatan mencari informasi sebagai bahan untuk dianalisis dan disimpulkan. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan membaca buku, observasi lapangan, uji coba, wawancara, menyebarkan kuesioner, dan lain-lain, sehingga siswa dapat menguji hipotesis yang telah dibuat sebelumnya.

4. Mengasosiasi, merupakan mengolah data dalam serangkaian aktivitas fisik dan pikiran dengan bantuan peralatan tertentu. Pengolahan data dapat dilakukan dengan klasifikasi, mengurutkan, menghitung, membagi, dan menyusun data dalam bentuk yang lebih informatif, serta menentukan sumber data sehingga lebih bermakna. Bentuk pengolahan data misalnya tabel, grafik, bagan, peta konsep, menghitung, dan pemodelan. Selanjutnya siswa menganalisis data untuk membandingkan ataupun menentukan hubungan antara data yang telah diolahnya dengan teori yang ada sehingga dapat ditarik suatu simpulan.

5. Mengomunikasikan, merupakan kegiatan siswa dalam mendeskripsikan dan menyampaikan hasil temuannya dari kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan dan mengolah data, serta mengasosiasi yang ditujukan kepada orang lain baik secara lisan maupun tulisan dalam bentuk diagram, bagan, gambar, dan sejenisnya dengan bantuan perangkat teknologi sederhana dan atau teknologi informasi dan komunikasi.

Pendekatan saintifik sendiri merupakan suatu prosedur atau proses, yakni langkah-langkah sistematis yang perlu dilakukan untuk memperoleh pengetahuan secara ilmiah yang didasarkan pada persepsi indrawi dan melibatkan uji hipotesis serta teori secara terkontrol (Sudarminta, 2002: 164). Melalui model pembelajaran yang relevan dengan pendekatan saintifik akan dihasilkan output (siswa) dengan kemampuan intelektual dan karakter yang baik.

Untuk menambah pemahaman Anda tentang pendekatan saintifik silakan klik link berikut ini dan silakan mencermati pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan saintifik pada link berikut:
https://www.youtube.com/watch?v=kHpvPXbTHjA

Dalam video tersebut diperlihatkan tahap-tahap pendekatan saintifik dalam pembelajaran. Pendekatan saintifik yang dilandasi paradigma konstruktivistik, berpusat pada siswa (student centered learning), dan berorientasi pada kelompok kerjasama diharapkan dapat memaksimalkan proses pembelajaran dan hasil belajar siswa. Model-model pembelajaran yang mengacu pada pendekatan saintifik tersebut di antaranya: model pembelajaran berbasis masalah, model pembelajaran berbasis proyek, model pembelajaran kooperatif, dan model pembelajaran Simulasi. Bagaimana model-model pembelajaran tersebut dapat Anda implementasikan? Mari, kita cermati bersama uraian model-model tersebut berikut ini.

B. Beberapa Model Pembelajaran Berpusat pada Peserta Didik (SCL)
Sebelum membahas tentang model pembelajaran perlu kita ketahui terlebih dulu pengertian pembelajaran dan pengertian model. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pada pasal 1, ayat 20 dinyatakan bahwa pembelajaran merupakan proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar dalam suatu lingkungan belajar. Sejalan dengan UU Sisdiknas tersebut Permendikbud RI No.103 Tahun 2014 pasal 1 lebih jelas menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi antarpeserta didik dan antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (BSNP, 2016). Mengacu pada pengertian pembelajaran tersebut dapat kita pahami bahwa dalam pembelajaran ada tiga unsur penting yaitu: 1) subjek, 2) aktivitas atau proses interaksi, dan 3) lingkungan belajar. Siswa dan guru adalah subjek yang aktif.

Ahli pembelajaran, seperti Gagne, Briggs dan Wager (1992) juga menyatakan hal senada, bahwa pembelajaran adalah serangakaian kegiatan yang dirancang untuk terfasilitasinya proses belajar siswa. Kiranya jelas, bahwa tujuan dari semua upaya pembelajaran adalah agar siswa belajar. Dalam pembelajaran, siswa adalah subjek yang aktif belajar. Tentu saja, guru juga memainkan peranan penting. Peran guru tersebut adalah memilih, menetapkan, dan menata kegiatan-kegiatan (events) pembelajaran agar efektif bagi proses belajar siswa. Untuk itulah guru harus merancang kegiatan pembelajaran (events of instruction) dengan baik, termasuk dalam menggunakan metode dan model pembelajaran yang tepat, semata-mata agar proses belajar siswa berhasil.

Mengenai pengertian “model”, kita ikuti pendapat Winataputra (2001:3) yang mengartikan model sebagai kerangka konseptual. Dengan demikian, jelaslah sekarang bahwa yang dimaksud model pembelajaran dalam modul ini, sebagaimana dinyatakan Joyce & Weil (1996) dan Winataputra (2001), adalah kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman atau yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu. Model pembelajaran dapat berfungsi atau bermanfaat sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran.

Model pembelajaran memiliki lima unsur dasar sebagaimana dikemukakan oleh Joyce & Weil (1996) dan Winataputra (2001), yaitu: a) sintakmatik, b) sistem sosial, c) prinsip reaksi, d) sistem pendukung, dan dampak instruksional dan pengiring. Setiap model pembelajaran memiliki sintakmatiknya. Hal ini berarti bahwa jika suatu model pembelajaran tidak jelas sintakmatiknya maka sesungguhnya model tersebut belum dapat dikategorikan sebagai model pembelajaran.

Sintakmatik (syntax) ialah tahap-tahap atau langkah-langkah operasional kegiatan pembelajaran dari model itu, sedangkan Sistem Sosial (social system) adalah suasana atau situasi dan norma yang berlaku dalam model pembelajaran tersebut. Prinsip Reaksi (principles of reaction), adalah pola kegiatan yang menggambarkan bagaimana seharusnya guru melihat dan memperlakukan para siswa, termasuk merespon siswa, dan mengunakan aturan main yang berlaku dalam setiap model. Sistem pendukung (support system), yaitu segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran. Sedangkan yang dimaksud dampak instruksional (instructional effect) dan dampak pengiring atau efek ikutan (nurturant effect) adalah hasil belajar kurikuler langsung sesuai tujuan kurikulum, dan hasil belajar pengiring yaitu hasil belajar ikutan yang diperoleh di samping hasil pembelajaran yang disasar secara kurikuler.

Berdasarkan pengertian dan manfaat model pembelajaran tersebut jelas bahwa dalam pembelajaran guru perlu memahami model-model pembelajaran agar dapat memilihnya dengan tepat dan efektif dalam upaya membelajarkan peserta didik. Beberapa model pembelajaran yang mendukung pendekatan saintifik dan paradima pembelajaran abad-21 diuraikan berikut ini.

1. Beberapa Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning).
Implementasi berbagai model yang mengacu pada pendekatan saintifik sangat berguna dalam upaya meningkatkan kinerja pembelajaran. Terdapat lebih dari seratus model pembelajaran yang dapat digunakan dalam implementasi pendekatan sainfitik, dan salah satunya adalah cooperative learning (Budiyanto, dkk, 2016: 48). Sejak diterapkannya pertama kali di Universitas John Hopkins, pembelajaran kooperatif telah dikembangkan secara intensif melalui berbagai penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan kerjasama akademik antar siswa, membentuk hubungan positif, mengembangkan rasa percaya diri, serta meningkatkan kemampuan akademik melalui aktivitas belajar kelompok. Para ahli dan peneliti pembelajaran kooperatif, seperti Johnson dan Johnson (1991), Slavin (1995), Sharan dan Sharan (1992), Hill & Hill (1993), Arends (2004), maupun Heinich, dkk. (2002), mendefinisikan bahwa pembelajaran kooperatif pada intinya adalah suatu strategi pembelajaran yang terstruktur secara sistematis di mana siswa bekerjasama dalam kelompok-kelompok kecil dengan anggota antara empat sampai lima orang secara heterogen untuk mencapai tujuan bersama.

Mengacu pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu pembelajaran dikatakan merupakan pembelajaran kooperatif jika pembelajaran tersebut mencerminkan karakteristik sebagai berikut: a) siswa-siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri atas empat sampai enam anggota dengan level dan latar belakang yang bervariasi, b) siswa-siswa melakukan interaksi sosial satu sama lain dalam bentuk diskusi, curah pendapat, dan sejenisnya, c) tiap-tiap individu memiliki tanggungjawab dan sumbangannya bagi pencapaian tujuan belajar baik tujuan individu maupun kelompok, d) dan guru lebih berperan sebagai fasilitator dan coacher dalam proses pembelajaran.

Beberapa elemen yang menjadi karakteristik atau ciri pembelajaran kooperatif menurut Slavin (1995) adalah:
1) saling ketergantungan positif (positive interdependence),
2) interaksi tatap muka (face-to-face promotive interaction),
3) tanggungjawab individual (individual accountability,
4) keterampilan-keterampilan kooperatif (cooperative skills),
5) proses kelompok (group proces),
6) pengelompokan siswa secara heterogen, dan
7) kesempatan yang sama untuk sukses (equal opportunities for success).

Dengan kata lain, dalam pembelajaran kooperatif terdapat saling ketergantungan positif di antara siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Setiap siswa mempunyai kesempatan yang sama untuk sukses. Aktivitas belajar berpusat pada siswa dalam bentuk diskusi, mengerjakan tugas bersama, saling membantu dan saling mendukung dalam memecahkan masalah. Melalui interaksi belajar yang efektif siswa lebih termotivasi, percaya diri, mampu menggunakan strategi berpikir tingkat tinggi, serta mampu membangun hubungan interpersonal. Model pembelajaran kooperatif memungkinkan siswa menguasai materi pada tingkat penguasaan yang relatif sama.

Secara umum Tim PKP Dikti (2007) menyebutkan ada empat tahap pembelajaran kooperatif yaitu:
Langkah Orientasi, guru menyampaikan tujuan, materi, waktu, langkah-langkah serta hasil akhir yang diharapkan dikuasai oleh siswa, serta sistem penilaiannya. Pada langkah ini siswa diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya tentang apa saja, termasuk cara kerja dan hasil akhir yang diharapkan atau sistem penilaiannya. Negosiasi dapat terjadi antara guru dan siswa, hingga terjadi kesepakatan bersama di akhir orientasi.

Langkah Kerja Kelompok, nerupakan tahap inti kegiatan pembelajaran. Kerja kelompok dapat berbentuk kegiatan memecahkan masalah, atau memahami dan menerapkan suatu konsep yang dipelajari dengan berbagai cara seperti berdiskusi, eksplorasi, observasi, percobaan, hingga browsing melalui internet, dan sebagainya. Guru perlu membuat panduan untuk mengarahkan kegiatan kelompok. Panduan memuat tujuan, materi, waktu, cara kerja kelompok dan tanggung jawab masing-masing anggota kelompok, serta hasil akhir yang diharapkan dapat dicapai.

Langkah Tes/Kuis, yaitu langkah di mana semua siswa diharapkan telah mampu memahami konsep/topik/masalah yang sudah dikaji bersama dan mampu menjawab tes atau kuis untuk mengetahui pemahaman mereka terhadap konsep/topik/ masalah yang dikaji. Penilaian individu ini mencakup penguasaan ranah kognitif, afektif dan ketrampilan sosial.

Langkah Penghargaan Kelompok, yaitu langkah untuk memberikan penghargaan kepada kelompok yang berhasil memperoleh kenaikan skor dalam tes individu. Kenaikan skor dihitung dari selisih antara skor dasar dengan skor tes individual. Menghitung skor yang didapat kelompok dengan cara menjumlahkan skor yang didapat siswa di dalam kelompok tersebut kemudian dihitung rata-ratanya. Selanjutnya berdasarkan skor rata-rata tersebut ditentukan penghargaan masing-masing kelompok.

Evaluasi belajar dilakukan pada awal pelajaran sebagai pra tes, selama pembelajaran, serta hasil akhir belajar siswa baik individu maupun kelompok. Selama proses pembelajaran, evaluasi dilakukan dengan mengamati sikap, keterampilan dan kemampuan berpikir serta berkomunikasi siswa. Kesungguhan mengerjakan tugas, hasil eksplorasi, kemampuan berpikir kritis dan logis dalam memberikan pkitangan atau argumentasi, kemauan untuk bekerja sama dan memikul tanggung jawab bersama, tanggungjawab, keterbukaan, empati, menghormati orang lain, persatuan, dan lain-lain, merupakan contoh aspek-aspek yang dapat dinilai selama proses pembelajaran berlangsung. Penilaian dilakukan dalam bentuk penilaian individu dan kelompok. Penilaian individu adalah evaluasi terhadap tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang dikaji, meliputi ranah kognitif, afektif, dan keterampilan. Sedangkan, penilaian kelompok meliputi berbagai indikator keberhasilan kelompok meliputi kekohesifan, dinamika kelompok, kepemimpinan, kerjasama, dan sebagainya. Untuk kriteria penilaian dapat disepakati bersama pada waktu orientasi awal.

Selain langkah-langkah atau sintak pembelajaran kooperatif secara umum, terdapat langkah-langkah khusus atau spesifik pembelajaran kooperatif berdasarkan karakteristik tipe model tertentu. Ada lebih dari 50 tipe model pembelajaran kooperatif, namun hanya beberapa yang biasa digunakan misalnya langkah pembelajaran kooperatif tipe STAD (student Team-Achievement Division), Jigsaw, GI (Group Investigation) dan sebagainya. Berikut ini penjelasan langkah-langkah atau sintaks beberapa tipe pembelajaran kooperatif tersebut. Anda sebagai pendidik profesional di abad-21 diharapkan dapat menerapkan model-model tersebut dalam pembelajaran.

Langkah atau sintak inti pembelajaran pada kooperatif tipe STAD berdasarkan pendapat penemunya, yaitu Slavin (1995), adalah:
1) presentasi materi (oleh guru),
2) siswa belajar dalam kelompok,
3) siswa mengerjakan kuis individual,
4) pemberian skor peningkatan individual, dan
5) penghargaan kelompok.

Sintak secara lengkap, jika kita ingin menerapkan pembelajaran pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah:
1) Orientasi (apersepsi, penyampaian tujuan, dan memotivasi),
2) guru mempresentasikan materi,
3) siswa belajar atau berdiskusi dalam kelompok,
4) siswa mengerjakan kuis individual,
5) pemberian skor peningkatan individual,
6) penghargaan kelompok, dan
7) Penutup (penyampaian review dan tindak lanjut).

Bagi anda yang ingin menerapkan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, sebagaimana dikemukakan oleh penemunya (Sharan& Sharan, dalam Slavin, 1995), prosedur pembelajaran tipe Jigsaw adalah:
1) pemberiaan materi yang sudah dipecah berikut lembar kerja ahli (expert sheet) kepada kelompok asal (home team),
2) diskusi kelompok ahli (expert team) yang terdiri dari gabungan anggota-anggota kelompok asli dengan materi yang sama mendalami materi tersebut,
3) diskusi kelompok asli (home team) di mana setiap anggota menjelaskan materi masing-masing kepada anggota lain dalam kelompoknya,
4) mengerjakan kuis dengan bahan semua materi yang dipelajari,
5) pemberian penghargaan kelompok.

Sama seperti tipe model pembelajaran kooperatif yang lain, dalam tipe Jigsaw ini anda dapat menambah sintaks di awal dengan Orientasi dan Penutup di mana guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Langkah Orientasi dipandang penting sesuai kultur sosial kehidupan kita yaitu
1.      pemberian pengantar atau petunjuk belajar,
2.      penyampaian tujuan pembelajaran,
3.      pengaktivan pengetahuan awal (apersepsi), dan
4.      memotivasi belajar siswa.

Sedangkan tahap Penutup merupakan langkah closing pembelajaran di mana guru perlu memberikan peneguhan pengusaan materi yang dipelajari, bisa juga berupa pemberian rangkuman, atau diberikan pesan-pesan moral yang relevan dalam rangka pendidikan karakter secara terintegrasi.

Model pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation (GI) atau Investigasi Kelompok yang ditemukan oleh Herbart Thelen (1960) yang mengacu pada pendapat John Dewey (1916) tentang demokrasi dalam pendidikan. Thelen menyatakan bahwa hendaknya kelas dapat menjadi miniatur demokrasi yang bertujuan mengkaji masalah-masalah sosial antar pribadi (Arends, 1998). Sesuai dengan pendapat Arends tersebut sekaitan dengan pmbelajaran sosial, Martorella mencoba menerapkan model GI ini dalam pendidikan ilmu sosial (social studies). Joyce & Weil (1996: 73) dan disarikan oleh Winataputra (2001: 35-36) merumuskan sintak pembelajaran model GI ke dalam enam tahap, yaitu tahap:
1) siswa dihadapkan pada situasi yang problematis,
2) siswa melakukan eksplorasi sebagai respon terhadap situasi yang problematis itu,
3) siswa merumuskan tugas-tugas belajar (learning task) dan mengorganisasikannya untuk membangun proses pendidikan,
4) siswa melakukan kegiatan belajar individual dan kelompok,
5) siswa menganalisis kemajuan dan proses yang dilakukan dalam proses penelitian kelompok, dan
6) melakukan proses pengulangan kegiatan.

Kemdikbud (2017) juga menjelaskan bahwa model GI atau investigasi kelompok memberikan pengalaman kepada siswa dalam memecahkan suatu permasalahan dengan caranya sendiri dan dibicarakan dalam kelompok secara demokratis. Secara umum pembelajaran dengan model GI menurut Depdiknas tersebut mencakup enam tahap, yaitu:
1) memilih topik,
2) perencanaan kooperatif,
3) implementasi,
4) analisis dan sintesis,
5) presentasi hasil final, dan
6) evaluasi.

Kegiatan pembelajaran dengan model GI secara rinci mencakup:
1) siswa dibagi kedalam kelompok (4-5 orang);
2) guru memberikan pengarahan tentang hal-hal yang harus dilakukan oleh siswa di masing-masing kelompok;
3) siswa dihadapkan pada suatu situasi yang memerlukan pemecahan atau suatu keputusan yang harus ditentukan;
4) siswa mengeksplorasi situasi tersebut;
5) siswa merumuskan tugas-tugas yang harus dilakukan dalam menghadapi situasi tersebut, antara lain merumuskan masalah, mennetukan peran anggota kelompok, dan merumuskan alternatif cara yang akan digunakan;
6) dalam melaksanakan tiga langkah di atas, siswa dapat dibimbing oleh guru (guru bertindak sebagai mentor);
7) masing-masing kelompok melaksanakan kerja mandiri;
8) siswa melakukan pengecekan terhadap kemajuan dalam menyelesaikan tugasnya, kemudian hasil tugas kelompoknya dipresentasikan di depan kelas agar siswa lain memiliki perspektif lebih luas tentang topik yang dipelajari; dan
9) siswa saling memberikan umpan balik mengenai topik yang telah dikerjakan berdasarkan tugas masing-masing kelompok, selanjutnya siswa bersama guru mengevaluasi pembelajaran.

Untuk menambah wawasan Anda tentang beberapa model pembelajaran kooperatif, silakan buka dan cermati video contoh model pembelajaran tentang penerapan model pembelajaran kooperatif dengan cara mengklik link berikut ini.
video 1
https://www.youtube.com/watch?v=2Q6nHGBb6U4 video 2
https://www.youtube.com/watch?v=bsI9PYgc75Y
video 3
https://www.youtube.com/watch?v=pbUmJcCbDCQ
Dengan menyimak dan menganalisis tahapan pada tiga rangkaian video di atas, Anda dapat mengidentifikasi tipe model koopertaif apa yang digunakan dalam contoh pembelajaran tersebut berdasarkan sintaknya.

2. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
Model Pembelajaran Berbasis Masalah atau Problem Based Learning (PBL) menurut Arends (1997: 2001; 2004: 406) dalam bukunya yang berjudul Learning to Teach, sering disebut sebagai model Anchored Instruction dan Authentic Learning. Arends selanjutnya memaparkan bahwa model PBL merupakan model pembelajaran yang memberikan berbagai situasi permasalahan kepada siswa dan dapat berfungsi sebagai batu loncatan dalam penyelidikan.

Model PBL menyuguhkan situasi atau berbagai masalah otentik yang mendorong siswa untuk melakukan investigasi dan penyelidikan. Putu Arnyana (2004) mendeskripsikan pembelajaran berbasis masalah tersebut sebagai pembelajaran yang dirancang berdasarkan masalah riil kehidupan yang bersifat tidak tentu, terbuka, dan mendua. Model pembelajaran ini dilandasi oleh teori konstruktivistik yang mengakomodasi keterlibatan siswa dalam belajar dan pemecahan masalah otentik.

Pada model ini dalam pemerolehan informasi dan pengembangan pemahaman tentang topik-topik, siswa belajar bagaimana mengkonstruksi kerangka masalah, mengorganisasikan dan menginvestigasi masalah, mengumpulkan dan menganalisis data, menyusun fakta, mengkonstruksi argumentasi mengenai pemecahan masalah, dan bekerja secara individual atau kolaborasi dalam pemecahan masalah.

Mengacu pada pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran berbasis masalah merupakan kerangka konseptual tentang proses pembelajaran yang menggunakan masalah-masalah riil dalam kehidupan nyata (otentik), bersifat tidak tentu, terbuka dan mendua untuk merangsang dan menantang siswa berpikir kritis untuk memecahkannya. Dalam pemecahan masalah tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Tan (dalam Rusman, 2014), siswa menggunakan berbagai macam kecerdasan yang diperlukan untuk melakukan konfrontasi terhadap tantangan dunia nyata, kemampuan untuk menghadapi segala sesuatu yang baru dan kompleksitas yang ada.

Suatu pembelajaran dikatakan menerapkan model PBL jika pembelajaran tersebut memiliki ciri-ciri sebagaimana dikemukakan oleh Putu Arnyana (2004) sebagai berikut:
a) terdapat kegiatan mengajukan pertanyaan atau masalah,
b) pembelajaran terfokus pada keterkaitan antar disiplin,
c) penyelidikan autentik,
d) siswa menghasilkan produk berupa karya nyata seperti laporan,
e) kerjasama, siswa bekerjasama kelompok.

Arends (2004: 406) mengemukakan ada 5 fase (tahap) yang perlu dilakukan untuk mengimplementasikan PBL. Kelima tahap model PBL tersebut secara rinci dapat dilihat pada tabel sintak model PBL di bawah ini.
Tabel 1. Sintak Model PBL (Arends, 1996; 2004)
Langkah-langkah Pokok
Tahap 1
Orientasikan siswa pada masalah aktual dan otentik
Guru Menyampaikan tujuan pembelajaran, menyiapkan dan memotivasi siswa untuk terlibat aktif dalam pemecahan masalah, Guru mendiskusikan rubric asesmen yang akan digunakan dalam menilai kegiatan/hasil karya siswa
Siswa Memperhatikan tujuan yang harus dikuasai, menerima dan memahami masalah yang dipresentasikan guru, siswa berada dalam kelompoknya sampai semua jelas trhadap penyelesaiannya.

Tahap 2:
Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut
Siswa Membatasi permasalahan yang akan dikaji

Tahap 3:
Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
Siswa Melakukan inkuiri, investigasi, dan bertanya untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang dihadapi

Tahap 4:
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
Siswa Menyusun laporan dalam kelompok dan menyajikannya dalam diskusi kelas

Tahap 5:
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Guru membantu siswa untuk melakukan efleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan
Siswa Mengikuti tes dan menyerahkan tugas-tugas sebagai bahan evaluasi proses belajar

Sistem sosial dalam model ini antara lain adalah interaksi guru dengan siswa lebih dekat dalam proses teacher-asisted instruction, peran guru sebagai transmitter pengetahuan menjadi berkurang, interaksi sosial makin efektif, dan siswa berlatih menginvestigasi masalah yang kompleks. Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah peranan guru sebagai pembimbing dan negosiator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan selama proses pendefinisian dan pengklarifikasian masalah. Sarana pendukung model pembelajaran ini meliputi lembaran kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar siswa dan guru, artikel, jurnal, kliping, peralatan demonstrasi atau eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan kursi yang mudah dimobilisasi atau ruang kelas yang telah dikondisikan.

Dampak pembelajaran (instructional effect) model PBL adalah pemahaman tentang kaitan pengetahuan dengan dunia nyata, dan bagaimana menggunakan pengetahuan dalam pemecahan masalah kompleks. Dampak pengiringnya adalah mempercepat pengembangan self-regulated learning, siswa terbentuk kemampuan berpikir kritisnya, keterampilan sosial dan karakter siswa meningkat, seperti: sikap kerjasama, tangungjawab, peduli, toleran, dan sebagainya. Anda dapat mencermati video contoh penerapan model PBL pada link berikut ini atau pada …(materi 2 daring)
https://www.youtube.com/watch?v=YMFrrrT5C8w
Setelah mengamati dan mengidentifikasi tahapan (sintak) pembelajaran pada video tersebut, analisislah kesesuaiannya dengan sintak model mengacu pada konsep PBL.

3. Model Pembelajaran Project Based Cooperative Learning
Model project based cooperative learning atau PjBCL merupakan model yang dikembangkan berdasarkan penerapan projek dengan melibatkan siswa menyelidiki masalah dunia nyata melalui kelompok kooperatif (Yam & Rosini, 2010: 1). Penerapan pembelajaran projek merupakan salah satu cara yang dapat Anda pilih sebagai guru untuk melibatkan siswa dengan materi atau konten pembelajaran mereka. Model dengan projek ini dipandang menarik karena memiliki format instruksional yang inovatif di mana siswa dapat memilih berbagai aspek tugas dan termotivasi oleh masalah lingkungan sekitar bahkan mungkin akan memberikan kontribusi kepada mereka (Bender, 2012: 7). Projek pembelajaran pada model ini dilaksanakan secara kelompok kooperatif dengan siswa-siswa yang heterogen sebagai anggotanya.

Pengembangan model project based learning dengan konsep kelompok kooperatif ditujukan untuk lebih mempermudah pengimplementasian projek dalam pembelajaran melalui kegiatan kelompok. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan pembelajaran projek yaitu membutuhkan banyak waktu dan biaya untuk menyelesaikan sebuah projek. Projek yang dilaksanakan secara kooperatif akan lebih efektif serta menghemat waktu dan biaya. Pembelajaran kooperatif sangat cocok untuk mengorganisasi kegiatan dalam pembelajaran berbasis projek sehingga menjadi model gabungan bernama project based cooperative learning (Wang, 2008: 265). Pada model ini suatu situasi perlu diciptakan di mana tujuan individu dapat dicapai hanya ketika kelompok itu bekerjasama demi kerhasilan menyelesaikan projek. Dengan cara ini hubungan yang kompetitif di antara para peserta didik telah diubah menjadi "kerja sama dari dalam" dan "kompetisi dari luar". Selanjutnya komunikasi tradisional antara pendidik dan peserta didik telah diubah menjadi komunikasi multi-arah.

Model ini dikembangkan mengacu pada model project based learning yang secara khusus mengajukan satu atau lebih masalah (problem) yang harus dipecahkan oleh siswa melalui projek. Pendekatan pembelajaran berbasis projek menggunakan tahapan produksi, yaitu: siswa menetapkan tujuan untuk pembuatan produk akhir dan mengidentifikasi audien mereka. Selanjutnya, siswa mengkaji topik, mendesain produk, dan membuat perencanaan pengelolaan projek. Siswa kemudian memulai projek, memecahkan masalah dan isu-isu yang timbul dalam produksi, serta menyelesaikan produk mereka. Siswa mungkin menggunakan atau menyajikan produk yang mereka buat dan idealnya mereka diberi waktu untuk mengevaluasi hasil kerja mereka (Moursund, Bielefeldt, & Underwood; Oakey; dalam Waras 2004). Sejalan dengan paparan tersebut, Hosnan (2013: 325) menjabarkan tahapan pembelajaran berbasis projek dalam 6 langkah yaitu:
1) menentukan pertanyaan mendasar,
2) mendesain perencanaan projek,
3) menyusun jadwal,
4) memonitor peserta didik dan kemajuan projek,
5) menguji hasil, dan
6) mengevaluasi pengalaman.

Model project based cooperative learning dikembangkan sintak dengan prinsip pemerataan kelompok heterogen dan kerja sama dalam penyelesaian projek maupun diskusi. Hal utama dalam model ini adalah efektivitas projek yang dilaksanakan dalm kegiatan pembelajaran. Berikut sintak model PjBCL yang dapat Anda diterapkan:
Tabel 2. Sintak Model PjBCL (Wang, 2008: 2655)
Tahap 1
Siswa diberikan pembelajaran dasar terkait tema.
Guru menentukan apakah akan menerapkan PjBCL

Tahap 2
Siswa memilih topik penelitian dan memperjelas tujuan pembelajaran
Guru menganalisis tujuan pengajaran dan membimbing siswa untuk memilih topic

Tahap 3
Siswa membetuk kelompok kooperatif
Guru menganalisis karakteristik siswa dan mengelompokkan siswa dengan cara yang heterogen dan komplementer

Tahap 4
Siswa memecahkan masalah, membagi peran, membagi pekerjaan dalam kelompok, dan memperjelas tugas kelompok dan individu
Guru menganalisis tugas dan menciptakan situasi pertanyaan, dan membangun kelompok kasus

Tahap 5
Siswa secara kooperatif menyusun dan merancang rencana untuk kelompok dan individu
Guru menciptakan lingkungan yang kooperatif

Tahap 6
Siswa melakukan penelitian kooperatif
Guru bertindak sebagai penyelenggara, pengamat, instruktur, dan konselor

Tahap 7
Siswa bertukar dan merangkum hasil proyek
Guru mengomentari hasil dan keteraturan proyek

Tahap 8
Secara bersama mengevaluasi hasil pembelajaran dengan cara ringkasan
Guru mengevaluasi hasil belajar melalui komentar dan membimbing siswa dari praktik ke teori

Sesuai konsep pembelajaran kooperatif, pada model pembelajaran project based cooperative learning Anda, sebagai guru, dapat melakukan proses penilaian bersama siswa. Proses penilaian oleh guru dilakukan dengan mengevaluasi proses belajar melalui penilaian terhadap peran masing-masing anggota sesuai tugasnya, penilaian perilaku kerjasama dalam kelompok kooperatif, dan penilaian seluruh kelompok kooperatif, serta memberikan umpan balik pada waktunya. Sedangkan penilaian proses pembelajaran oleh siswa dilakukan dengan mengevaluasi proses pembelajaran melalui penilaian diri dari peran yang sesuai dalam tugas kelompok, penilaian timbal balik dan penilaian perilaku kooperatif dalam kelompok kooperatif dan penilaian seluruh kelompok kooperatif.

Sistem sosial pada model project based cooperative learning mengacu pada konsep kooperatif yang dikenal dengan istilah pembelajaran gotong royong yaitu sistem pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerjasama dengan peserta didik lain dalam tugas yang terstruktur (Lie, 2008: 28). Anda dapat melibatkan siswa dalam pengalaman nyata atau proyek dan menjadi pembelajaran yang mandiri berpusat pada siswa atau student center melalui model ini. Seperti disampaikan Parkay (2010: 387), penerapan projek dalam pembelajaran merupakan cara untuk melibatkan para peserta didik, mengurangi ketidakhadiran, meningkatkan keterampilan pembelajaran kooperatif, dan meningkatkan skor tes.

Secara umum, dalam model project based cooperative learning guru berperan sebagai fasilitator bagi kegiatan siswa dalam melaksanakan projek secara kooperatif. Dengan bantuan guru siswa dapat meningkatkan kemampuan yang dimiliki melalui proses pembelajaran. Model ini membutuhkan kemandirian dan kemampuan berpikir tinggi dari siswa untuk menentukan topik hingga menyelesaikan projek, sehingga dapat dilaksanakan sepenuhnya mulai pada jenjang SMP dan SMA/SMK.

Penerapan model ini dilakukan dengan memberikan siswa tugas mengembangkan tema/ topik pembelajaran dengan melakukan kegiatan projek yang realistik. Sebagaimana disampaikan Bender (2012: 7), pembelajaran yang menggunakan projek menjadikan pembelajaran tersebut menarik karena tugas yang diberikan dihubungkan dengan masalah yang ada di dunia nyata. Penerapan pembelajaran projek mendorong tumbuhnya kreativitas, kemandirian, tanggungjawab, kepercayaan diri, serta berpikir kritis dan analitis pada siswa. Berkaitan dengan hal ini perlu ada sistem dukungan dari lingkungan siswa. Pengimplementasian model ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan karakter siswa dengan pendekatan ilmiah melalui projek dan pemerataan penyampaian informasi melalui kelompok kooperatif.

Model PjBCL termasuk model yang jarang digunakan karena masih banyak guru yang belum mengetahui model pembelajaran gabungan ini. Umumnya, guru baru mengenal model project based learning. Berikut ini contoh video penerapan model project based cooperative learning pada pembelajaran:
https://www.youtube.com/watch?v=wJz6QgSGGTs
Anda dapat menganalisis tahapan model pembelajaran pada video ini, untuk selanjutnya dapat dijadikan pilihan model yang dapat diterapkan di sekolah guna meningkatkan kemampuan berpikir siswa.

4. Model Pembelajaran Simulasi (role playing)
Penggunaan model simulasi sudah diterapkan di dalam dunia pendidikan lebih dari tiga puluh tahun. Model pembelajaran ini berasal dari penerapan prinsip sibernetik. Belajar dengan konsep sibernetik adalah proses mengalami konsekuensi lingkungan secara sensorik dan melibatkan perilaku koreksi diri (self corrective behavior) sehingga tercipta suatu lingkungan yang dapat menghasilkan umpan balik yang optimal bagi siswa. Pelaksanaan model simulasi pada dasarnya digunakan untuk mengembangkan pemahaman dan penghayatan terhadap suatu peristiwa yang lebih banyak mengarah kepada psikomotor agar kegiatan lebih bermakna bagi siswa.

Penyajian yang nyata pada model simulasi melibatkan siswa secara aktif dalam berinteraksi dengan situasi di lingkungannya. Siswa mengaplikasikan pengetahuan yang telah dipelajari sebelumnya dengan memperagakan dalam bentuk replikasi dan visualisasi. Hal ini berguna untuk untuk memberikan respons (membuat keputusan atau melakukan tindakan) untuk mengatasi masalah/situasi dan menerima umpan balik tentang respons tersebut (Rheba & Thompson dalam Anitah, 2007). Penerapan model simulasi menurut Trianto (2010: 140-141) terdapat beberapa jenis, diantaranya
1) sosiodrama,
2) psikodrama,
3) role playing atau bermain peran,
4) peer teaching dan
5) simulasi game.

Penerapan model simulasi memiliki empat tahap menurut Joyce, Weil dan Calhoun, (2009: 441-442).
Tahap pertama yaitu orientasi, guru menyampaikan topik yang akan dibahas dan konsep yang akan digunakan dalam aktivitas simulasi.
Tahap kedua, yaitu persiapan simulasi atau latihan partisipasi. Pada tahap ini guru menyusun sebuah skenario yang memaparkan peran, aturan, proses, skor, jenis, keputusan yang akan dibuat dan tujuan simulasi. Guru memimpin praktik dalam jangka waktu singkat untuk memastikan bahwa siswa telah memahami semua arahan dan bisa melaksanakan perannya masing-masing.
Tahap ketiga, yaitu pelaksanaan simulasi. Siswa berpartisipasi dalam permainan atau simulasi, dan guru/dosen juga memainkan perannya sebagai wasit dan pelatih. Secara periodik, permainan simulasi bisa dihentikan sehingga siswa dapat menerima umpan balik, mengevaluasi penampilan dan keputusan mereka serta mengklarifikasi kesalahan-kesalahan konsepsi.
Tahap keempat adalah wawancara partisipasi. Berdasarkan hasil yang diperoleh, guru dapat membantu siswa fokus pada hal-hal melalui wawancara partisipasi. Berikut ini tabel sintak model pembelajaran simulasi yang dapat diterapkan disekolah.

Tabel 3. Sintak Model Simulasi Adaptasi Joyce, Weil dan Calhoun (2009:442)
Tahap Pertama: Orientasi
Tahap Kedua:Latihan Partisipasi
- Menyajikan topik luas mengenai simulasi dan konsep yang dipakai dalam aktivitas simulasi
- Menjelaskan simulasi dan perma-inan
- Menyajikan ikhtisar simulasi
- Membuat skenario (aturan peran, prosedur, skor, tipe, keputusan yang akan dipilih dan tujuan
- Menugaskan peran
- Melaksanakan praktik dalam jangka waktu yang singkat
Tahap Ketiga: Pelaksanaan Simulasi
Tahap Keempat:Wawancara Partisipan
- Memimpin aktivitas permainan dan administrasi permainan
- Mendapatkan umpan balik dan evaluasi (mengenai penampilan dan pengaruh keputusan)
- Menjelaskan kesalahan persepsi
- Melanjutkan simulasi
- Menyimpulkan kejadian dan persepsi
- Menyimpulkan kesulitan dan pandangan-pandangan
- Menganalisis proses
- Membandingkan aktivitas simulasi dengan dunia nyata
- Menghubungkan aktivitas simulasi dengan materi pembelajaran
- Menilai dan kembali merancang simulasi

Sistem sosial dalam model simulasi sangat kental, karena guru di dalam simulasi harus dengan sengaja memilih aktivitas simulasi dengan cermat dan mengarahkan siswa pada aktivitas yang telah digambarkan dimana kegiatan yang akan dilakukan telah dirancang secara utuh dan padat mengenai suatu proses terstruktur. Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Winataputra (2001: 68) bahwa model simulasi termasuk dalam model yang terstruktur. Dalam hal ini guru sangat berperan dalam merancang dan mengkondisikan pembelajaran dalam suatu proses yang terstruktur dan memperhatikan kerjasama antar peserta. Oleh karena itu menurut Joyce, Weil dan Calhoun (2009: 443) dalam sistem pembelajaran yang terstruktur ini dapat mengembangkan lingkungan pembelajaran dengan interaksi kooperatif. Kesuksesan terakhir dalam simulasi juga ditentukan oleh kerja sama dan kemauan untuk berpartisipasi dalam diri siswa. 

Di samping mempelajari peran dan menjalankan suatu peran yang ditugaskan kepadanya, siswa juga dilibatkan dalam aktivitas kerjasama. Dengan kerjasama siswa bisa saling membagi gagasan dan saling mengevaluasi antar teman sebaya di samping evaluasi guru. Oleh karena itu sistem sosial dalam model simulasi seharusnya dapat menciptakan aktivitas pembelajaran yang menyenangkan dan penuh dengan kerjasama.

Seperti halnya cooperative learning, dalam model simulasi guru berperan sebagai fasilitator, terutama dalam memfasilitasi pemahaman dan penafsiran tentang aturan kegiatan simulasi. Hal paling penting yang perlu dilakukan oleh guru adalah memberikan reaksi berupa umpan balik atau menarik benang merah terkait makna dari simulasi yang telah dilakukan. Joyce, Weil dan Calhoun (2009: 440) merumuskan empat hal yang perlu dilakukan guru (pendidik) dalam model simulasi, yaitu:
1) Menjelaskan kepada siswa tentang aturan-aturan kegiatan simulasi, agar siswa memahami aturan-aturan yang cukup memadai untuk bisa melaksanakan aktivitas-aktivitas simulasi.
2) Mewasiti dan melihat apakah peraturan benar-benar diikuti dan ditaati, namun guru seharusnya tidak terlalu ikut campur dalam kegiatan simulasi.
3) Melatih dan menjadi penasehat yang sportif bukan seorang pendakwah atau seorang ahli suatu disiplin ilmu.
4) Melakukan diskusi bersama siswa tentang bagaimana kaitan simulasi dengan dunia nyata, kesulitan dan pandangan yang dimiliki siswa dan hubungan yang ditemukan antara simulasi dengan materi yang dipelajari.

Sarana yang diperlukan dalam menerapkan model pembelajaran simulasi ini juga bervariasi. Sarana tersebut dapat berupa sesuatu yang sederhana dan murah seperti kartu dan kelereng, dapat pula berupa sesuatu yang kompleks dan mahal seperti simulator elektronik (Winataputra, 2001:68). Sarana tersebut diperlukan untuk menunjang efektivitas simulasi untuk mendekati situasi nyata yang diinginkan. Dalam model pembelajaran simulasi ditemukan dampak instruksional seperti: kapasitas pengajaran-diri, pengetahuan dan skill, dan kepercayaan diri sebagai siswa. Sedangkan dampak pengiringnya antara lain responsif pada umpan balik, kemandirian sebagai siswa, dan sensitivitas pada hubungan sebab dan pengaruh (Joyce, Weil dan Calhoun, 2009: 444).

Salah satu bentuk model simulasi adalah role playing atau bermain peran. Penerapan model simulasi dalam bentuk role playing dapat Anda simak dan pahami pada link video berikut ini.
Video ini dapat dijadikan sebagai gambaran model simulasi di sekolah guna meningkatkan aktivitas belajar siswa.

RANGKUMAN
Setelah mempelajari materi ini, dapat disimpulkan bahwa:
1. Pendekatan saintifik merupakan bagian dari pendekatan pedagogis dalam kegiatan pembelajaran yang melandasi penerapan metode ilmiah. Tahapan dalam pembelajaran dengan pendekatan saintifik, meliputi a) mengamati; b) menanya; c) mencoba/ mengumpulkan informasi; d) menalar/ mengasosiasi; dan e) melakukan komunikasi.

2. Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran dengan unsur-unsur yang mencakup a) sintakmatik, b) sistem sosial, c) prinsip reaksi, d) sistem pendukung, dampak instruksional dan pengiring.

3. Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang terstruktur secara sistematis di mana siswa bekerjasama dalam kelompok-kelompok kecil dengan anggota antara empat sampai lima orang secara heterogen untuk mencapai tujuan bersama. Empat tahap pembelajaran kooperatif, meliputi: orientasi, bekerja kelompok, kuis, dan pemberian penghargaan.

4. Model pembelajaran berbasis masalah atau problem based learning (PBL) merupakan kerangka konseptual tentang proses pembelajaran yang menggunakan masalah-masalah riil dalam kehidupan nyata (otentik), bersifat tidak tentu, terbuka dan mendua untuk merangsang dan menantang siswa berpikir kritis untuk memecahkannya. Tahapan pada model pembelajaran PBL meliputi: a) orientasikan siswa pada masalah aktual dan otentik; b) mengorganisasikan siswa untuk belajar; c) membimbing penyelidikan individu maupun kelompok; d) mengembangkan dan menyajikan hasil karya; dan e) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

5. Model pembelajaran Project Based Cooperative Learning (PjBCL) merupakan model yang dikembangkan berdasarkan penerapan proyek dengan melibatkan siswa menyelidiki masalah dunia nyata dalam kolaboratif lingkungan melalui kelompok kooperatif. Tahapan model ini meliputi: a) menyampaikan pembelajaran mendasar, b) menentukan topik penelitian, c) membentuk kelompok kooperatif, d) mendesain Perencanaan Proyek, e) menyusun Jadwal dan perencanaan, f) penelitian kooperatif, g) menguji, bertukar dan merangkum hasil proyek, dan h) mengevaluasi hasil pembelajaran


6. Model pembelajaran simulasi merupakan model yang digunakan untuk mengembangkan pemahaman dan penghayatan terhadap suatu peristiwa yang lebih banyak mengarah kepada psikomotor agar kegiatan lebih bermakna bagi siswa. Tahapan pada model simulasi meliputi: Orientasi, Latihan Partisipasi, Pelaksanaan Simulasi, dan Wawancara Partisipan.

Posting Komentar untuk "Uraian Lengkap Model Model Pembelajaran dengan Pendekatan Saintifik"