Modul 1 KB 1 Karakteristik Guru dan Siswa Abad 21 (B. Karakteristik Guru Abad 21)
Perubahan karakter
masyarakat secara fundamental sebagaimana terjadi dalam abad 21 tentu
berimplikasi terhadap karakteristik guru. Dalam pandangan progresif, perubahan
karakteristik masyarakat perlu diikuti oleh transformasi kultur guru dalam
proses pembelajaran. Jadi jika sekarang masyarakat telah berubah ke masyarakat
digital, maka guru juga segera perlu mentransformasikan diri, baik secara teknik
maupun sosio-kultural. Oleh karena itu perlu mengidentifikasi, karakteristik
guru seperti apa yang mampu mentransformasikan diri pada era digital pada abad
21 sekarang ini.
Terdapat ungkapan bahwa,
buku bisa digantikan dengan teknologi, tetapi peran guru tidak bisa digantikan,
bahkan harus diperkuat. Pada era sekarang, abad 21, guru harus mampu
memanfaatkan teknologi digital untuk mendesainpembelajaran yang kreatif.
Kemampuan para guru untuk mendidik pada era pembelajaran digital perlu
dipersiapkan dengan memperkuat pedagogi siber pada diri guru. Guru yang lebih
banyak berperan sebagai fasilitator harus mampu memanfaatkan teknologi digital
yang ada untuk mendesain pembelajaran kreatif yang memampukan siswa aktif dan
berpikir kritis (Kompas, 9 April 2018, hal. 12).
Menurut Ketua Divisi
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Smart Learning Center,
Richardus Eko Indrajit mengatakan, guru harus mulai dibiasakan untuk merasakan
pembelajaran digital yang terus berkembang. Sebab, penggunaan teknologi dalam pembelajaran
berguna untuk memfasilitasi pembelajaran yang berkualitas. Buku bisa digantikan
dengan teknologi. Konten pembelajaran sudah tersedia di internet. Namun, tetap
ada peran guru yang tidak bisa digantikan. Di sinilah kita harus memperkuat
guru sebagai fasilitator yang membantu siswa untuk dapat memanfaatkan sumber
belajar yang beragam. Oleh karena itu karakteristik guru dalam abad 21 antara
lain: Pertama, guru disamping sebagai fasilitator, juga harus menjadi
motivator dan inspirator.
Lebih lanjut Eko Indrajit
mengatakan, pada era sekarang, siswa sudah banyak mengetahui pembelajaran lewat
internet terlebih dahulu, baru sekolah. Jangan sampai guru gagap menghadapi
kondisi siswa yang lebih banyak tahu konten pembelajaran yang didapat dari
internet. Oleh karena itu kemampuan guru sebagai fasilitator harus diperkuat.
Guru dapat mengarahkan pembelajaran lebih banyak pada diskusi, memecahkan
masalah, hingga melakukan proyek yang merangsang siswa berpikir kritis (Kompas,
9 April, 2018, hal. 12).
Kemampuan guru dalam
posisi sebagai fasilitator, ini berarti harus mengubah cara berpikir bahwa guru
adalah pusat (teacher center) menjadi siswa adalah pusat (student center)
sebagaimana dituntut dalam kurikulum 13. Ini berarti guru perlu memposisikan
diri sebagai mitra belajar bagi siswa, sehingga guru bukan serba tahu karena
sumber belajar dalam era digital sudah banyak dan tersebar, serta mudah diakses
oleh siswa melalui jaringan internet yang terkoneksi pada gawai. Ini memang
tidak mudah, karena berkait dengan transformasi kultural baik yang masih
berkembang dalam guru maupun siswa itu sendiri, dan bahkan masyarakat. Kedua,
salah satu prasyarat paling penting agar guru mampu mentrasformasikan diri
dalam era pedagogi siber atau era digital, adalah tingginya minat baca. Selama
ini berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa minat baca di kalangan guru di
Indonesia masih rendah, dan bahkan kurang memiliki motivasi membeli atau
mengoleksi buku. Tingkat kepemilikan buku di kalangan guru di Indonesia masih
rendah. Bahkan sering terdengar pemeo bahwa penambahan penghasilan melalui
program sertifikasi guru, tidak untuk meningkatkan profesionalisme guru, tetapi
hanya untuk gaya hidup konsumtif. Sudah sering terdengar bahwa, tambahan
penghasilan gaji guru melalui program sertifikasi bukan untuk membeli buku,
tetapi untuk kredit mobil.
Karakteristik seperti
itu, adalah tidak cocok bagi pengembangan profesionalisme guru pada abad 21.
Oleh karena itu, guru harus terus meningkatkan minat baca dengan menambah
koleksi buku. Setiap kali terdapat masalah pembelajaran, maka guru perlu
menambah pengetahuan melalui bacaan buku, baik cetak maupun digital yang bisa
diakses melalui internet. Tanpa minat baca tinggi, maka guru pada era pedagogi
siber sekarang ini akan ketinggalan dengan pengetahuan siswanya, sehingga akan
menurunkan kredibilitas atau kewibawaan guru. Hilangnya kewibawaan guru akan
berdampak serius bukan saja pada menurunya kualitas pembelajaran, tetapi juga
bagi kemajuan sebuah bangsa.
Ketiga, guru pada abad 21 harus memiliki
kemampuan untuk menulis. Mempunyai minat baca tinggi saja belum cukup bagi
guru, tetapi harus memiliki keterampilan untuk menulis. Guru juga dituntut
untuk bisa menuangkan gagasan-gagasan inovatifnya dalam bentuk buku atau karya
ilmiah. Tanpa kemampuan menulis guru akan kesulitan dalam upaya meningkatkan
kredibilitasnya di hadapan murid. Guru yang memiliki kompetensi dalam menulis
gagasan, atau menulis buku dan karya almiah, maka akan semakin disegani oleh
siswanya. Sebaliknya, jika guru tidak pernah menulis, maka akan semakin
dilecehkan oleh siswa.
Oleh karena itu, jika
sudah memiliki kemampuan untuk menulis gagasan, maka ketika terlibat dalam era
digital bukan saja sebagai konsumen pengetahuan, tetapi juga produsen
pengetahuan. Dengan kata lain, guru dalam era informasi sekarang ini, ketika
terlibat dalam internet, bukan sekadar mengunduh, tetapi jugamengunggah
karya-karya tulisnya yang bisa memberikan sumbangan pemikiran bagi upaya
peningkatan kualitas pembelajaran.
Keempat, guru abad 21 harus kreatif dan
inovatif dalam mengembangkan metode belajar atau mencari pemecahan
masalah-masalah belajar, sehingga meningkatkan kualitas pembelajaran berbasis
TIK. Penguasaan terhadap e-learning bagi seorang guru abad 21 adalah sebuah keniscayaan
atau keharusan, jika ingin tetap dianggap berwibawa di hadapan murid. Guru yang
kehilangan kewibawaan di mata siswa adalah sebuah bencana, bukan saja bagi guru
itu sendiri tetapi bagi sebuah bangsa karena kunci kemajuan bangsa adalah guru.
Oleh karena itu kompetensi mengajar berbasis TIK adalah mutlak bagi guru pada
abad 21. Jadi seorang guru harus mampu menerapkan model pembelajaran misalnya
yang menggunakan pola hibrida (hybrid learning), karena proses pembelajaran
dalam abad 21 tidak hanya secara konvensional dengan tatap muka di kelas,
tetapi juga secara online melalui situs pembelajarannya. Jadi pembelajaran
hibrida adalah sebuah pola pembelajaran yang mengombinasikan pertemuan tatap
muka dengan pembelajaran berbasis online, teknologi hadir dalam proses belajar.
Tujuan utamanya untuk keperluan memperluas kesempatan belajar, meningkatkan
kualitas proses belajar, menumbuhkan kesempatan yang sama antarpeserta didik,
dan berbagai kemungkinan lainnya. Melalui pola pembelajaran hibrida yang
memanfaatkan perangkat komputer atau pun smartphone yang terkoneksi pada
jaringan internet memberikan peluang seluas-luasnya bagi guru dan siswa untuk
melakukan aktivitas belajar sambil melakukan aktivitas lain, termasuk rekreatif
secara bersama-sama. Atau inilah yang disebut pembelajaran multitasking.
Kehadiran e-learning guru
abad 21 juga dituntut untuk kreatif dan inonvatif dalam memanfaatkan media baru
(new media) untuk pembelajaran berbasis web. Oleh karena itu guru perlu
mempunyai kompetensi untuk menerapkan mutltimedia. Kalau toh tidak membuat
aplikasi sendiri, tetapi setidaknya bisa memanfaatkan dan menerapkan multimedia
bagi pembelajaran. Demikian pula dengan gamifiication atau pembelajaran
berbasis pada permainan yang sekarang semakin diminati oleh siswa, adalah
peluang yang perlu dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Berbagai bidang studi yang selama ini dirasa sulit oleh siswa, sepertimatematika,
fisika, dan kimia misalnya, terbukti dapat menjadi pembelajaran yang
menyenangkan melalui kreasi pembelajaran berbasis permainan. Dengan demikian,
guru abad 21 juga perlu memiliki kemampuan perancangan pembelajaran berbasis
permainan, sehingga proses belajar menjadi mudah dan menyenangkan, sekalipun
itu pada bidang studi yang selama ini dianggap rumit dan membosankan.
Kelima, karakteristik guru abad 21 di tengah
pesatnya perkembangan era teknologi digital, bagaimanapun harus mampu melakukan
transformasi kultural. Karena itu transformasi mengandaikan terjadi proses
pergantian dan perubahan dari sesuai yang dianggap lama menjadi sesuatu yang
baru. Atau paling tidak mengalami penyesuaian terhadap kehadiran yang baru.
Jika dipandang dari perspektif kritis, konsep transformasi seperti itu segera
akan mengundang kecurigaan bahwa konsep transformasi mau tidak mau akan berbau
positivistik. Ketika asumsi linearistik yang menjadi karakter utama
positivistik, pastilah mengandaikan bahwa yang lama akan dipandang sebagai
sesuatu yang tertinggal, atau paling tidak sedikit muatan kemajuannya (Wahyono,
2011).
Selanjutnya Wahyono
menjelaskan bahwa ketika transformasi digunakan untuk menjelaskan konsep
transformasi budaya, maka mengandaikan terjadinya proses alih ubah nilai,
sikap, dan praksis dalam aktivitas kebudayaan. Setidaknya terdapat proses
penyesuaian dari nilai, sikap, dan praksis budaya lama menuju budaya baru.
Ketika ilmu pengetahuan dan teknologi yang menggunakan konstruksi budaya
berbasis pada nilai budaya Barat, maka mau tidak mau nilai budaya lama
masyarakat pengadopsinya harus melakukan penyesuaian-penyesuaian. Salah satu
nilai yang imperatif dituntut oleh ilmu pengetahuan dan teknologi adalah
apresiasi tinggi terhadap logika kausalitas, akurasi, presisi, detail, dan
terukur. Di samping itu tentu saja penghargaan terhadap prinsip kejujuran,
disiplin, dan kerja keras yang merupakan etos masyarakat Barat dan negara maju
lainnya di kawasan Asia. Oleh karena itu tesis yang ditawarkan adalah, jika
masyarakat, taruhlah yang masih mengikuti prinsip tradisionalisme, ingin
menjadi masyarakat modern berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi, maka
perlu melakukan transformasi kultural. Transformasi di sini mengandaikan
terjadinya proses alih ubah nilai, sikap, dan praksis lama menuju yang baru.
Transformasi kultural, bila diterapkan dalamkaitannya dengan perkembangan model
pembelajaran hibrida, maka konsep transformasi kultural tentu mengandaikan
proses alih ubah dari nilai tradisional ke nilai pembelajaran modern. Secara
umum sudah berkembang persepsi bahwa model pembelajaran yang lebih lazim
digunakan adalah berat pada karakter berorientasi pada guru (teacher center)
daripada berorientasi pada peserta didik (student center). Oleh karena
pembelajaran online masuk kategori belajar berbasis media baru (new media)
maka mengedepankan egalitarianism, kesetaraan, emansipatif, dan partisipatif
dalam proses komunikasinya, maka student-center lebih sesuai dengan
prinsip pembelajaran online. Dengan demikian diperlukan adanya
transformasi kultural dari model pembelajaran yang berprinsip searah, top-down,
dan memposisikan peserta didik sebagai pihak pasif, ke arah model pembelajaran
konstruktivistik yang berorientasi pada peserta didik. Pandangan bahwa guru
adalah sumber pengetahuan dan rujukan utama pengetahuan, perlu diubah ke arah
pandangan bahwa sumber pengetahuan bersifat menyebar. Semua pada prinsipnya
dapat menjadi sumber rujukan, tidak terkecuali peserta didik. Atau setidaknya
murid adalah pihak yang aktif mengkonstruksi dan memaknai pesan. Begitulah,
guru dalam pembelajaran abad 21 dituntut mengenali dan menguasai pembelajaran
berbasis TIK.
Jenjang kompetensi TIK
yang sebaiknya dimiliki oleh seorang pengajar atau guru untuk menerapkan model
e-learning meliputi lima tahapan. Upaya dini yang harus dilakukan oleh pegelola
sekolah adalah menyiapkan SDM guru yang melek TIK (ICT literate). Ciri-ciri
utama seorang guru yang melek TIK ialah guru yang menggunakan TIK secara tepat,
berdasarkan kebutuhan belajar, kompetensi, karakteristik isi atau mata ajar,
ketersediaan sarana. Selanjutnya ia mampu mensinergikan kompetensi ini dalam
penyajian di kelas konvensional, yaitu bersama dengan peserta didik menggunakan
TIK untuk proses belajar dan mengajar. Adapun guru yang mahir meggunakan TIK
dapat menjadi guru TIK, yaitu menularkan perilaku positif dan
mengintegrasikannya dalam materi ajar TIK serta menumbuhkan kesadaran dalam
berinternet sehat, misalnya ia dapat menjelaskan bagaimana mengakses jejaring
sosial sekaligus memanfaatkannya untuk diskusi suatu mata ajar tertentu (Salma,
2016: 4). Oleh karena itu, setelah guru memilikikarakteristik yang sesuai
dengan tuntutan abad 21 yang serba digital, maka seorang guru juga perlu
mempunyai kompetensi di bidang perancangan atau desainer pembelajaran.
Disainer
pembelajaran menjadi sosok yang harus lebih banyak berperan dalam menyelenggarakan
e-learning. Disainer pembelajaran adalah ahli yang terbuka dan dinamis, mampu
memecahkan masalah di tingkat trouble shooting, di depan monitor, atau hingga
menjadi problem solver dalam tatanan menciptakan proses belajar maya yang
“hidup”, interaktif, dan manusiawi (Salma, 2016: 5).
Posting Komentar untuk "Modul 1 KB 1 Karakteristik Guru dan Siswa Abad 21 (B. Karakteristik Guru Abad 21)"