Pembahasan Lengkap tentang Sistem Pajak di Indonesia
JENIS-JENIS
PAJAK
1.
PENGERTIAN PAJAK
Menurut UU No. 28 Tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak adalah kontribusi kepada
negara yang terutang orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dari definisi pajak tersebut di
atas dapat ditarik kesimpulan berikut:
1. Pajak dipungut berdasarkan atau
dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
2. Dalam membayar pajak tidak dapat
ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
3. Pajak dipungut oleh negara, baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
4. Pajak diperuntukkan bagi
pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat
surplus, digunakan untuk membiaya public investment.
A.
Pungutan Lain Selain Pajak
Di samping pajak, ada pungutan lain
yang serupa dengan pajak, tetapi mempunyai perlakuan dan sifat yang berbeda
dengan pajak yang dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya. Pungutan tersebut
antara lain:
1.
Bea meterai
Merupakan pungutan yang dikenakan
atas dokumen dengan menggunakan benda materai ataupun benda lain.
2.
Bea masuk dan bea keluar
Bea masuk adalah pungutan atas
barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean berdasarkan harga/nilai barang
itu atau berdasarkan tarif yang sudah ditentukan. Bea keluar adalah pungutan
yang dilakukan atas barang yang dikeluarkan dari daerah pabean berdasarkan
tarif yang sudah ditentukan bagi masing-masing golongan barang.
3.
Cukai
4.
Retribusi
Retribusi merupakan pungutan yang
dikenakan sehubungan dengan suatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh
pemerintah secara langsung dan nyata kepada pembayar. Contoh: parkir, pasar,
jalan tol, dan sebagainya.
5.
Iuran
Iuran merupakan pungutan yang
dikenakan sehubungan dengan suatu jasa atau fasilitas yang diberikan pemerintah
secara langsung dan nyata kepada kelompok atau golongan pembayar.
6.
Pungutan lain yang sah/legal berupa sumbangan wajib.
B.
Fungsi Pajak
Terdapat dua fungsi pajak, yaitu:
1.
Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara)
Pajak mempunyai fungsi budgetair,
artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai
pengeluaran, baik rutin maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara,
pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. Upaya
tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi dan intensifikasi pemungutan pajak
melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak, seperti Pajak Penghasilan
(PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan sebagainya.
2.
Fungsi Regularend (Pengatur)
Pajak mempunyai fungsi pengatur,
artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan
pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi serta mencapai tujuantujuan tertentu
di luar bidang keuangan.
Contoh penerapan pajak sebagai
fungsi pengatur:
a. Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM) dikenakan pada saat terjadi transaksi jual beli barang tergolong
mewah. Semakin mewah suatu barang, tarif apajknya semakin tinggi sehingga barang tersebut harganya semakin
mahal. Pengenaan pajak ini dimaksudkan agar rakyat tidak berlomba-lomba untuk
mengkonsumsi barang mewah (mengurangi gaya hidup mewah).
b. Tarif pajak progresif dikenakan
atas penghasilan, dimaksudkan agar pihak yang memperoleh penghasilan tinggi
memberikan kontribusi (membayar pajak) yang tinggi pula sehingga terjadi
pemerataan pendapatan.
c. Tarif pajak ekspor 0%,
dimaksudkan agar para pengusaha terdorong mengekspor hasil produksinya di pasar
dunia sehingga dapat memperbesar devisa negara.
d. Pajak penghasilan dikenakan atas
penyerahan barang hasil industri tertentu, seperti industri semen, industri
kertas, industri baja, dan lainnya, dimaksudkan agar terdapat penekanan
produksi terhadap industri tersebut karena dapat mengganggu lingkungan atau
polusi (membahayakan kesehatan).
e. Pengenaan pajak 1% bersifat
final untuk kegiatan usaha dan batasan peredaran usaha tertentu, dimaksudkan
untuk penyederhaan penghitungan pajak.
f. Pembrlakuan tax holiday,
dimaksudkan untuk menarik investor asing agar menanamkan modalnya di Indonesia.
2.
JENIS PAJAK
Terdapat berbagai jenis pajak yang
dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pengelompokan menurut golongan, menurut
sifat, dan menurut lembaga pemungutnya.
A.
Menurut Golongan
Pajak digolongkan menjadi dua,
yaitu:
a. Pajak langsung, pajak yang harus
dipikul atau ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan
atau dibebankan kepada orang lain atau pihak lain. Pajak harus menjadi beban
Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh). PPh dibayar
atau ditanggung oleh pihak-pihak tertentu yang memperoleh penghasilan tersebut.
b. Pajak Tidak Langsung, pajak yang
pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak
ketiga. Pajak tidak langsung terjadi jika terdapat suatu kegiatan, peristiwa,
atau perbuatan yang menyebabkan terutangnya pajak, misalnya terjadi penyerahan
barang atau jasa. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPn terjadi karena
terdapat pertambahan nilai terhadap barang atau jasa. Pajak ini dibayarkan oleh
produsen atau pihak yang menjual barang, tetapi dapat dibebankan kepada
konsumen baik secara eksplisit maupun implisit (dimasukkan dalam harga jual
barang atau jasa).
Cara menentukan apakah suatu pajak
langsung atau tidak langsung dalam arti ekonomis, yaitu dengan cara melihat
ketiga unsur yang terdapat dalam kewajiban pemenuhan perpajakannya, yaitu:
1) Penanggung jawab pajak adalah
orang yang secara formal yuridis diharuskan melunasi pajak.
2) Penanggung pajak adalah orang
yang dalam faktanya memikul terlebih dahulu beban pajaknya.
3) Pemikul pajak adalah orang yang
menurut undang-undang harus dibebani pajak. Jika ketiga unsur tersebut
ditemukan pada seseorang, pajaknya disebut Pajak Langsung,. Jika insur tersebut
terpisah atau terdapat lebih dari satu orang, pajaknya disebut Pajak Tidak
Langsung.
B.
Menurut Sifat
a. Pajak Subjektif Pajak yang
pengenaannya memperhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak atau pengenaan pajak yang
memperhatikan keadaan subjeknya. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh). Dalam PPh
terdapat subjek pajak (Wajib Pajak) orang pribadi. Pengenaan PPh untuk orang
pribadi tersebut memperhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak (status perkawinan,
banyaknya anak, dan tanggungan lainnya). Keadaan pribadi Wajib Pajak tersebut
selanjutnya digunakan untuk menentukan besarnya penghasilan tidak kena pajak.
b. Pajak Objektif Pajak yang
pengenaannya memperhatikan objeknya, baik berupa benda, keadaan, perbuatan,
maupun peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar pajak, tanpa
memperhatikan keadaan pribadi Subjek Pajak (Wajib Pajak), dan tempat tinggal.
C.
Menurut Lembaga Pemungut
a.
Pajak Negara (Pajak Pusat)
Pajak yang dipungut oleh pemerintah
pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara pada umumnya. Contoh:
PPh, PPN dan PPnBM, Bea Meterai
b.
Pajak Daerah
Pajak yang dipungut oleh pemerintah
daerah, baik daerah tingkat I (pajak propinsi), maupun daerah tingkat II (pajak
kabupaten/kota), dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah
masing-masing. Contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan diatas Air, Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan diatas Air, Pajak Air Permukaan,
Pajak Rokok, Pajak, Bahan Bakar kendaraan, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak
Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Papan Reklame, Pajak Penerangn
Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah,
Pajak Sarang burung walet, Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaaan dan Perkotaan.
Pajak Propinsi meliputi Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor, Pajak Air Permukaan, Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah
Tanah dan Air Permukaan. Pajak Kabupaten/Kota meliputi Pajak Hotel, Pajak
Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Papan Reklame,
Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C, Pajak Parkir, Pajak Bumi dan
Bangunan Pedesaan dan Perkotaan, serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
3.
HAMBATAN PEMUNGUTAN PAJAK
Mengingat pentingnya peran
masyarakat untuk membayar pajak dalam peran sertanya menanggung pembiayaan
negara, maka dituntut kesadaran warga negara untuk memenuhi kewajiban
kenegaraan. Terlepas dari kesadaran sebagai warga negara, pada sebagian besar
masyarakat tidak memenuhi kewajiban membayar pajak. Dalam hal demikian timbul
perlawanan terhadap pajak. Perlawanan terhadap pajak dapat dibedakan menjadi:
1. Perlawanan Pasif Perlawanan
pasif berupa hambatan yang mempersulit pemhungutan pajak dan mempunyai hubungan
erat dengan struktur ekonomi.
2. Perlawanan Aktif Perlawanan
aktif secara nyata terlkihat pada semua usaha dan perbuatan yang secara
langsung ditujunak kepada pemerintah (fiskus) dengan tujuan untuk menghindari
pajak.
4.
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK
A.
Stelsel Pajak
a.
Stelsel Nyata (Riil).
Stensel ini dinyatakan bahwa
pengenaan pajak didasarkan pada objek yang sesungguhnya terjadi (untuk PPh,
objeknya adalah penghasilan). Oleh karena itu, pemungutan pajaknya baru dapat
dilakukan pada akhitr tahun pajak, yaitu setelah semua penghasilan yang sesungguhnya
dalam satu tahun pajak diketahui. Contoh: PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23,
Pasal 4 ayat (2), dan pasal 26. Kelebihan stelsel nyata adalah penghitungan
pajak didasarkan pada penghasilan yang sesungguhnya sehingga lebih akurat dan
realistis.
Kekurangan stelsel nyata adalah
pajak baru dapat diketahui pada akhir periode sehingga:
1) Wajib pajak akan dibebani jumlah
pembayaran pajak yang tinggi pada akhir tahun, sementara pada waktu tersebut
belum tentu tersedia jumlah kas yang memadai.
2) Semua Wajib Pajak akan membayar
pada akhir tahun sehingga jumlah uang beredar secara makro akan terpengaruh.
b.
Stelsel Anggapan (Fiktif).
Stelsel ini menyatakan bahwa
pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang.
Contoh, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan penghasilan tahun
sebelumnya sehingga pajak yang terutang pada suatu tahun juga dianggap sama
dengan pajak yang terutang pada tahun sebelumnya.
Dengan stelsel ini, berarti
besarnya pajak yang terutang pada tahun berjalan sudah dapat ditetapkan atau
diketahui pada awal tahun yang bersangkutan. Contoh angsuran bulanan PPh Pasal
25: Penghasilan tahun 2015 sebesar Rp50.000.000. Dengan anggapan bahwa
penghasilan tahun 2016 sama dengan penghasilan tahun 2015, PPh tahun 2016 sudah
dapat dihitung pada awal tahun 2016. Misalnya, tarif pajak yang berlaku 5%,
berarti besarnya PPh yang terutang tahun 2016 adalah Rp2.500.000 yang
pembayarannya dapat diangsur pada saat-sat tertentu dalam tahun tersebut.
Kelebihan stelsel fiktif adalah pajak
dapat dibayar selama tahun berjalan tanpa harus menunggu sampai akhir suatu
tahun, misalnya pembayaran pajak dilakukan pada saat Wajib Pajak memperoleh
penghasilan tinggi atau mungkin dapat diangsur dalam tahun berjalan.
Kekurangannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang
sesungguhnya, sehingga penentuan pajak menjadi tidak akurat.
c.
Stelsel Campuran.
Stelsel ini menyatakan bahwa
pengenaan pajak didasarkan pada kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel
anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan.
Kemudian, pada akhir tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan keadaan yang
sesungguhnya. Jika besarnya pajak berdasarkan keadaan yang sesungguhnya lebih
besar daripada besarnya pajak menurut anggapan, Wajib Pajak harus membayar
kekurangan tersebut (PPh Pasal 29). Sebaliknya, jika besarnya pajak sesunggunya
lebih kecil daripada besarnya pajak menurut anggapan, kelebihna tersebut dapat
diminta kembali (restitusi) atau dikompensasikan pada tahun-tahun berikutnya,
setelah diperhitungkan dengan utang pajak yang lain (PPh Pasal 28 (a)).
5.
ASAS PEMUNGUTAN PAJAK
A.
Asas Domisili (Asas Tempat Tinggal)
Asas ini menyatakan bahwa negara
berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat
tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar
negeri. Setiap Wajib Pajak yang berdomisili atau bertempat tinggal di wilayah
Indonesia (Wajib Pajak dalam negeri) dikenakan pajak atas seluruh penghasilan
yang diperolehnya, baik dari Indonesia mauapun dari luar Indonesia.
Contoh: Wahyudin bertempat tinggal
di Indonesia dalam jangka waktu tertentu yang menurut peraturan perpajakan
Indonesia telah memenuhi ketentuan sebagai Wajib Pajak dalam Negeri. Pada tahun
2011, Wahyudin memperoleh penghasilan di Indonesia sebesar Rp50.000.000 dan
dari luar negeri Rp75.000.000. Penghasilan Wahyudin yang dikenakan di Indonesia
pada tahun 2011 adalah sebesar Rp125.000.000.
B.
Asas Sumber
Asas ini menyatakan bahwa negara
berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa
memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. Setiap orang yang memperoleh
penghasilan dari Indonesia dikenakan pajak atas penghasilan yang diperolehnya
tadi. Contoh: Nomura adalah warga negara Jepang yang pada bulan Juli 2015
memperoleh penghasilan dari Indonesia sebesar Rp100.000.000 dan dari negara
lain sebesar Rp50.000.000.
Menurut peraturan perpajakan yang
berlaku di Indonesia, Nomura bukan Wajib Pajak dalam Negeri, sehingga
penghasilan Nomura yang dikenakan pajak di Indonesia pada bulan Juli 2015 hanya
penghasilan yang bersumber dari Indonesia saja sebesar Rp100.000.000.
C.
Asas Kebangsaan
Asas ini menyatakan bahwa pengenaan
pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Misalnya, pajak bangsa asing
di Indonesia dikenakan atas setiap orang asing uang bukan berkebangsaan
Indonesia, tetapi bertempat tinggal di Indonesia.
6.
SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK
A.
Official Assessment System
Sistem pemungutan pajak yang
memberikan kewenangan aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah paajk
yang terutang setiap tahunnnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan menghitung
dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan aparatur perpajakan. Dengan
demikian, berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung
pada aparatur perpajakan (peranan dominan ada pada aparatur perpajakan).
B.
Self Assessment System
Sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang Wajib Pajak dalam menentukan sendiri jumlah pajak yang
terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan peundang-undangan perpajakan
yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan
memungut pajak sepenuhnya berada di tangan Wajib Pajak. Wajib Pajak dianggap mampu
menghitung pajak, memahami undang-undang perpajakan yang sedang berlaku,
mempunyai kejujuran yang tinggi, dan menyadari akan arti pentingnya membayar
pajak. Oleh karena itu, Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk:
1) Menghitung sendiri pajak yang
terutang
2) Memperhitungkan sendiri pajak
yang terutang
3) Membayar sendiri jumlah pajak
yang terutang
4) Melaporkan sendiri jumlah pajak
yang terutang
5) Mempertanggungjawabkan pajak
yang terutang Sehingga berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak
sebagian besar tergantung pada Wajib Pajak sendiri (peranan dominan ada pada
Wajib Pajak).
D.
With Holding System
Sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnya
pajak yang terutang oleh Wajib Pajak yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Penunjukan pihak ketiga ini
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan, keputusan
presiden, dan peraturan lainnya untuk memotong serta memungut pajak, menyetor,
dan mempertanggungjawabkan melalui sarana perpajakan yang tersedia. Berhasil
atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada pihak ketiga
yang ditunjuk. Peranan dominan ada pada pihak ketiga.
7.
TIMBULNYA UTANG PAJAK
Saat timbulnya utang pajak
mempunyai peranan yang sanagat penting karena berkaitan dengan:
1. Pembayaran pajak
2. Memasukkan surat keberatan
3. Menentukan saat dimulai dan
berakhirnya jangka waktu kadaluwarsa
4. Menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan
sebagainya.
5. Menentukan besanya denda maupun
sanksi administrasi lainnya. Terdapat dua ajaran yang mengatur timbulnya utang
pajak (saat pengakuan adanya utang pajak), yaitu:
A.
Ajaran Materiil
Ajaran materiil menyatakan bahwa
utang pajak timbul karena diberlakukannya undangundang perpajakan. Dalam ajaran
ini, seseorang akan secara aktif menentukan apakah dirinya dikenakan pajak atau
tidak, sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Ajaran ini konsisten
dengan penerapan self assessment system.
B.
Ajaran Formil
Ajaran formil menyatakan bahwa
utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus
(pemerintah). Untuk menentukan apakah seseorang dikenakan pajak atau tidak,
berapa jumlah pajak yang harus dibayar, dan kapan jangka waktu pembayarannya
dapat diketahui dalam surat ketetapan pajak. Ajaran ini konsisten dengan
penerapan official assessment system.
8.
BERAKHIRNYA UTANG PAJAK
Utang pajak akan berakhir atau
terhapus jika terjadi hal-hal sebagai berikut:
A.
Pembayara/Pelunasan
Pembayaran pajak dapat dilakukan
dengan pemotongan/pemungutan oleh pihak lain, pengkreditan pajak luar negeri,
maupun pembayaran sendiri oleh Wajib Pajak ke kantor penerima pajak (bank-bank
persepsi dan kantor pos).
B.
Kompensasi
Kompensasi dapat diartikan sebagai
kompensasi kerugian maupun kompensasi karena kelebihan pembayaran pajak.
a. Contoh penerapan kompensasi
karena kerugian yang dapat menyebabkan terhapusnya atau berakhirnya utang
pajak: Pada awal kepemilikan tahun 2013, Wajib Pajak A menderita kerugian
sebesar Rp10.000.000. Pada tahun 2014, mulai memperoleh laba sebesar
Rp5.000.000. Seharusnya pada tahun 2014, Wajib Pajak A terutang pajak
penghasilan sebesar persentase tertentu dari laba tahun 2014. Akan tetapi,
utang pajak tahun 2014 terhapusnya karena jumlah kerugian pada tahun 2013 dapat
dikompensasikan atau dikurangkan dari laba tahun 2014. Kerugian suatu usaha
dapat dikompensasikan pada tahun-tahun setelahnya dengan jangka waktu paling
lama lima tahun setekah tahun terjadinya kerugian tersebut.
b. Contoh penerapan kompensasi
karena kelebihan pembayaran pajak yang dapat menyebabkan terhapusnya atau
berakhirnya utang pajak:
1) Wajib Pajak B pada tahun 2014,
membayar pajak sebesar Rp8.000.000. Setelah dilakukan penghitungan kembali pada
akhir tahun 2014, ditemukan bahwa pajak yang sebenarnya terutang oleh Wajib
Pajak B adaalh Rp5.000.000. Kelebihan pembayaran sebesar Rp3.000.000 di tahun
2014 tersebut dapat dikompensasikan atau dikurangkan dari total pajak pada
tahun 2015.
2) Wajib Pajak C kelebihan membayar
PPh tahun 2014 sebesar Rp1.000.000, sedangkan untuk jenis PPN terdapat
kekurangan pajak sebesar Rp1.500.000. Kelebihan pembayaran PPh tahun 2014 dapat
dikompensasikan pada kekurangan PPN di tahun yang sama, sehingga utang PPN yang
sebesar Rp1.000.000 pada tahun 2014 menjadi terhapus. Sisa utang PPN menjadi
Rp500.000.
C.
Kedaluwarsa
Kedaluwarsa berarti telah lewat
batas waktu tertentu. Jika dalam jangka waktu tertentu suatu utang pajak tidak
ditagih oleh pemungutnya, utang pajak tersebut dianggap telah
lunas/dihapus/berakhir dan tidak dapat ditagih lagi. Utang pajak akan
kedaluwarsa setelah melewati waktu 10 tahun, terhitung sejak terutangnya pajak
atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan.
D.
Pembebasan/Penghapusan
Kewajiban pajak oleh Wajib Pajak
tertentu dinyatakan hapus oleh fiskus karena setelah dilakukan penyidikan,
ternyata Wajib Pajak tidak mampu lagi memenuhi kewajibannya. Hal ini biasanya
terjadi karena Wajib Pajak mengalami kebangkrutan maupun mengalami kesulitan
likuiditas.
Dalam pelaksanannya memang piutang
pajak bagi otoritas pajak atau utang pajak bila ditinjau dariWajib Pajak dapat
dihapuskan yang tata caranya diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri
Keuangan yang wewenang tersebut diberikan oleh Pasal 24 UU KUP. Besarnya
piutang pajak pihak otoritas pajak yang yang tidak dapat ditagih lagi, antar
lain karena Wajib Pajak telah meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan
atau kekayaan, Wajib Pajak Badan yang telah selesai proses pailitnya tau Wajib
Pajak yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai subjek pajak dan hak untuk
melakukan penagihan pajak telah kedaluwarsa.
Melalui penghapusan piutang pajak
ini dapat diperkirakan secara efektif besarnya saldo piutang pajak yang dapat
ditagih ataupun dicairkan. Pengaturan penghapusan piutang pajak untuk daerah
tertentu pun pernah terjadi sebagai akibat peristiwa tertentu sebagai contoh
peristiwa gempa di yogyakarta pada tahun 2006, tetapi juga dapat pengaturan secara
umum.
9.
TARIF PAJAK
Untuk menghitung besarnya pajak
yang terutang diperlukan dua unsur, yaitu tarif pajak dan dasar pengenaan
pajak. Tarif pajak dapat berupa angka atau persentase tertentu. Jenis tarif
pajak dibedakan menjadi tarif tetap, tarif proporsional (sebanding), tarif
progresif (meningkat), dan tarif degresif (menurun).
A.
Tarif Tetap
Tarif tetap adalah tarif berupa
jumlah atau angka yang tetap, berapapun besarnya dasar pengenaan pajak. Contoh:
No Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak 1. Rp 1.000.000 Rp6.000 2. Rp 2.000.000
Rp6.000 3. Rp15.000.000 Rp6.000 4. Rp50.000.000 Rp6.000 Di Indonesia, tarif
tetap diterapkan pada bea meterai. Pembayaran dengan menggunakan cek atau
bilyet giro untuk berapa pun jumlahnya dikenakan pajak sebesar Rp6.000. Bea Meterai
juga 13 dikenakan atas dokumen-dokumen atau surat perjanjian tertentu yang
ditetapkan dalam peraturan tentang Bea Meterai.
B.
Tarif Proporsional (Sebanding)
Tarif proporsional adalah tarif
berupa persentasetertentu yang sifatnya tetap terhadap berap pun dasar
pengenaan pajaknya. Makin besar dasar pengenaan pajak, makin besar pula jumlah
pajak yang terutang dengan kenaikan secara proporsional atau sebanding. Contoh:
No Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak Utang Pajak
1. Rp1.000 10% Rp100
2. Rp20.000 10% Rp2.000
3. Rp500.000 10% Rp50.000
4. Rp90.000.000 10% Rp9.000.000
Di Indonesia, tarif proporsional
diterapkan pada PPN (tarif 10%), PPh Pasal 26 (tarif 20%), PPh Pasal 23 (tarif
15% dan 2% untuk jasa lain), PPh WP Badan dalam negeri, dan BUT (tarif Pasal 17
ayat (1) b atau 28% untuk tahun 2009 serta 25% untuk tahun 2010 dan
seterusnya).
C.
Tarif Progresif (Meningkat)
Tarif prgresif adalah tarif berupa
persentase tertentu yang semakin meningkat dengan meningkatnya dasar pengenaan
pajak. Tarif progresif dibedakan menjadi tiga yaitu:
1.
Tarif Progresif-Proporsional,
tarif persentase tertentu yang
semakin meningkat dengan semakin meningkatnya dasar pengenaan pajak dan
kenaikan persentase tersebut adalah tetap. Contoh: No Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak
Kenaikan Tarif
1. Sampai dengan Rp10.000.000 15% -
2. Di atas Rp10.000.000 s.d.
Rp25.000.000 25% 10%
3. Di atas Rp25.000.000 35% 10%
Tarif Progresif-Proporsional pernah
diterapkan di Indonesia untuk menghitung PPh. Tarif ini diberlakukan sejak
tahun 1984 sampai dengan tahun 1994 dan diatur dalam Pasal 17 UU No. 7 tahun
1983.
2.
Tarif Progresif-Progresif,
tarif berupa persentase tertentu
yang semakin meningkat dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak dan kenaikan
persentase tersebut juga makin meningkat. Contoh: No Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak Kenaikan % Tarif
1. Sampai dengan Rp25.000.000 10% -
2. Di atas Rp25.000.000 s.d.
Rp50.000.000 15% 5%
3. Di atas Rp50.000.000 30% 15%
Tarif Progresif-Progresif pernah
diterapkan di Indonesia untuk menghitung Pajak Penghasilan. Tarif ini
diberlakukan sejak tahun 1995 sampai dengan tahun 2000 dan diatur dalam Pasal
17 UU No. 10 tahun 1994. Mulai tahun 2001, jenis tarif ini masih diberlakukan
sampai dengan akhir tahun 2008, tetapi hanya untuk Wajib Pajak badan dan bentuk
usaha tetap dengan perubahan pada dasar pengenaan pajak sebagai berikut:
No Dasar Pengenaan Pajak Tarif
Pajak Kenaikan % Tarif
1. Sampai dengan Rp50.000.000 10% -
2. Di atas Rp50.000.000 s.d.
Rp100.000.000 15% 5%
3. Di atas Rp100.000.000 30% 15%
3.
Tarif Progresif-Degresif,
tarif berupa persentase tertentu
yang semakin meningkat dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak, tetapi
kenaikan persentase tersebut makin menurun. Contoh: No Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak Kenaikan % Tarif
1. Rp50.000.000 10% -
2. Rp100.000.000 15% 5%
3. Rp200.000.000 18% 3%
D.
Tarif Degresif (Menurun)
Tarif degresif merupakann tarif
berupa persentase tertentu yang semakin menurun dengan makin meningkatnya dasar
pengenaan pajak. Contoh: 15 No Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak
1. Rp50.000.000 30%
2. Rp100.000.000 20%
3. Rp200.000.000 10%
B.
RANGKUMAN
Menurut UU No. 28 Tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak adalah kontribusi kepada
negara yang terutang orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdsarkan
undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di samping
pajak, ada pungutan lain yang serupa dengan pajak, tetapi mempunyai perlakuan
dan sifat yang berbeda dengan pajak yang dilakukan oleh negara terhadap
rakyatnya, yaitu: bea meterai, bea masuk dan bea keluar, cukai, retribusi,
iuran, dan pungutan. Secara umum, pajak di Indonesia dibedakan menjadi dua
yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Sejak reformasi perpajakan tahun1983,
undang - undang yang mengatur ketentuan material Pajak Penghasilan dipisahkan
dari undang - undang yang megatur ketentuan formal. Hukum pajak material
mengatur tentang subjek pajak, objek pajak, dan tarif pajak sehingga bisa
dihitung besarnya pajak terutang. Sedangkan bagaimana tatacara agar pajak
tersebut terealisasi sehingga masuk ke kas negara diatur dalam hukum pajak
formal.
Tambahan
Asar diharamkannya pajak oleh sebagian ulama didasarkan pemikiran bahwa pajak berbeda dari zakat. Zakat pada intinya adalah kewajiban yang melekat pada dirinya sebagai seorang muslim sebagaimana rukun Islam lainnya yang diwajibkan oleh Allah SWT, sedangkan konsep pajak dalam Islam menyatakan bahwa pajak hanya dapat dikenakan pada kelebihan harta bukan pada penghasilan. Negara tidak dapat mengenakan pajak langsung seperti pajak penjualan pada barang dan jasa juga pajak dalam bentuk biaya peradilan, biaya petisi , penjualan atau pendaftaran tanah, bangunan, atau jenis pajak lain selain yang shari’ah.
Mengapa Pajak Diharamkan Dalam Islam?
Pendapat golongan yang mendukung pengharaman pemungutan pajak salah satunya diperkuat oleh hadist (HR Ahmad dan Abu Dawud). ”Dari abu Khair Radhiyallahu’anhu beliau berkata, Maslamah bin Makhlad (gubernur Mesir saat itu) menawarkan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit Radhiyallahu ’anhu, maka Ia berkata: ’Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diazab) di neraka’”( HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930).
Imam Abu Ja’far Ath Thawawi Rahimahumullah (Imam Abu Ja’far Ath Thawawi Rahimahumullah, kitab Syarh Ma’ani Al-Atsar (2/30-31), berkata bahwa Al-Usyr yang telah dihapus kewajibannya oleh Rasulullah SAW atas kaum muslimin adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahilliyah. Kemudian beliau melanjutkan, ” ............. hal ini sangat berbeda dengan kewajiban zakat”.
Posting Komentar untuk "Pembahasan Lengkap tentang Sistem Pajak di Indonesia"