Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

DAHSYATNYA MAKNA SURAT AL-FATIHAH Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA.

Pengantar

Sebagai orang Mukmin, jujur kita akui dan yakini, bahwa al-Qur’an, baik keseluruhan, maupun ayat per ayat, maknanya tidak pernah kering. Maha Benar Allah, Dzat yang telah menjadikan al-Qur’an sebagai sumber pemikiran, hukum dan pedoman hidup kita. Al-Qur’an benar-benar mukjizat abadi, seperti kata penyair Mesir, Syauqi. Diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, yang juga unik dan luar biasa.

Kapan pun kita membaca al-Qur’an, dan dalam kondisi apapun, seolah ia hidup, dan bisa memberikan respons sebagaimana yang kita butuhkan. Itulah hebatnya al-Qur’an. Begitulah, ketika kita membaca al-Fatihah, surat yang tiap hari kita baca berulang-ulang tiap rakaat shalat kita, tak bosan kita cerna, dan gali maknanya. Di situ, kita akan menemukan kedahsyatannya.

Tulisan ini, selain terinspirasi oleh Dr. Nourman Ali Khan, yang telah memberikan penjelasan luar biasa tentang makna Q.s. al-Fatihah, juga apa yang saya sendiri gali dari berbagai penjelasan dalam kitab, baik Tafsir maupun Qawaid Lughah. Karena penjelasan Dr. Nourman Ali Khan disampaikan dalam bahasa Inggris, dan diterjemahkan dalam bahasa Arab, sementara tidak semua kaum Muslim, khususnya di Indonesia mengerti dan bisa mendapatkan manfaat dari penjelasan yang luar biasa itu, maka saya merasa perlu untuk menuangkan dahsyatnya makna Q.s. al-Fatihah dalam tulisan ini.

Nama Q.s. al-Fatihah

Sebelum membahas kedahsyatan makna al-Fatihah, ada baiknya kita bahas nama surat ini. Karena nama-nama tersebut juga mencerminkan isi dan maknanya. Q.s. al-Fatihah, selain nama ini, juga mempunyai nama-nama yang lain. Antara lain:

1- Fatihatu al-Kitab: Nama ini telah dinyatakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir, dengan sanad-nya dari Abu Hurairah radhiya-Llahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallama, pernah bersabda:

هِيَ أُمُّ الْقُرْآنِ، وَهِيَ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ، وَهِيَ السَّبْعُ المَثَانِيُّ

“Ia merupakan Ummu al-Kitab [induknya al-Kitab], Fatihatu al-Kitab [pembuka al-Kitab], dan as-Sab’u al-Matsani [tujuh ayat yang diulang-ulang].” [HR. Baihaqi, Sya’b al-Iman, Juz II/435, hadits no 2321; Ibn Jarir, Tafsir at-Thabari, Juz XIV/59]

Disebut Fatihatu al-Kitab, karena penulisannya di dalam Mushhaf dimulai dengannya, karena itu ia merupakan pembuka bagi surat-surat al-Qur’an dalam al-Kitab, bacaan, pengajaran dan shalat. Ada juga yang mengatakan, karena ia merupakan surat yang diturunkan pertama kali. Ada juga yang mengatakan, karena ia merupakan surat pertama yang ditulis di Lauh al-Mahfudz [Hr. Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz IV/1623].

2- Ummu al-Kitab dan Ummu al-Qur’an: al-Mawardi menjelaskan, disebut Ummu al-Kitab atau Ummu al-Qur’an, karena ia mendahului yang lain, dan karena yang lain di belakangnya, mengikutinya, maka ia menjadi induk [pemimpin], karena ia memimpinnya, atau mendahuluinya. Begitu juga, bendera perang disebut Ummun, karena di depan, dimana pasukan mengikutinya. Ada juga yang mengatakan, yang mendahului manusia, berupa usia lanjutnya, disebut Ummun, karena ia mendahului [al-Mawardi, Tafsir an-Nukat wa al-Uyun, Juz I/20].

3- Al-Qur’an al-‘Adzim: Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abu Hurairah, radhiya-Llah ‘anhu, bahwa Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa sallama, pernah bersabda:

هِيَ أُمُّ الْقُرْآنِ، وَهِيَ السَّبْعُ المَثَانِيُّ، وَهِيَ الْقُرْآنُ الْعَظِيْمُ

“Ia merupakan Ummu al-Qur’an [induknya al-Qur’an], as-Sab’u al-Matsani [tujuh ayat yang diulang-ulang], dan al-Qur’an al-‘Adhim [al-Qur’an yang agung].” [Hr. Ahmad, Musnad, Juz II/448, hadits no 9787; Hakim, al-Mustadrak, Juz II/283]

Disebut demikian, karena ia mengandung berbagai makna yang terdapat dalam al-Qur’an.

4- Sab’u al-Matsani: Disebut demikian, karena begitulah ia disebut dalam banyak hadits, sebagaimana di atas. Disebut Sab’an [tujuh], karena memang terdiri dari 7 ayat. Ada yang mengatakan, ia berisi tujuh adab dalam ayat adab.

5- Wafiyah: Sufyan bin ‘Uyainah menyebutnya demikian, karena ia memenuhi semua makna yang terkandung dalam al-Qur’an.

6- Surat Kanz [perbendaharaan]. Juga disebut Kafiyah [cukup], karena shalat cukup dengannya, tanpa yang lain, tetapi yang lain tidak cukup untuk menggantikannya. Asas, disebut demikian, karena ia merupakan pangkal, dan surat pertama. Nur, Hamd, Syukr, Syifa’, Ruqyah, Syafiyah dan Shalat. Ini adalah beberapa nama lain, selain nama-nama di atas. Semuanya berjumlah 15 nama.

Makna Q.s. al-Fatihah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ، إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ، اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ، صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai di Hari Pembalasan. Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” [Q.s. al-Fatihah: 1-7]

Pertama, Allah SWT memulai dengan Basmalah, sebagaimana sabda Nabi:

كُلُّ كَلَامٍ أَوْ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُفْتَحُ بِذِكْرِ اللهِ فَهُوَ أَبْتَرُ، أَوْ قَالَ: أَقْطَعُ

“Tiap ucapan atau perkara yang mempunyai nilai, yang tidak dibuka dengan menyebut Allah, maka ia sia-sia, atau terputus [keberkahannya].” [HR. Ibn Hibban]

Untuk mengajarkan kepada kita, tentang adab dan bagaimana seharusnya kita memulai sesuatu yang bernilai, baik ucapan maupun perbuatan.

Adapun lafadz, “Allah”, bagi orang Arab, meski Kafir sekalipun, adalah nama yang sangat dikenal [a’rafu al-ma’arif], sehingga tidak ada satu pun orang Arab yang tidak mengenal nama tersebut. Sedangkan lafadz, “Ar-Rahman”, dan “Ar-Rahim” adalah dua kata, yang berasal dari satu akar kata yang sama, “Rahima” [mengasihi/menyayangi]. Tetapi, dua lafadz tersebut sengaja digunakan dengan bentuk yang berbeda, karena Allah ingin menjelaskan makna yang berbeda.

“Ar-Rahman” adalah sifat Allah, yaitu Maha Pengasih, yang kasih-Nya diberikan kepada seluruh makhluk-Nya, tanpa melihat Mukmin atau Kafir. Karena itu, semua makhluk-Nya di dunia bisa hidup, mendapatkan rizki-Nya, meski membangkang kepada-Nya. Itulah, mengapa para Mufasir menjelaskan, sifat “Ar-Rahman” ini adalah sifat kasih sayang Allah di dunia. Ini berbeda dengan “Ar-Rahim”.

Karena itulah, di akhirat, Allah akan menyiksa orang Kafir dan tukang maksiat, sebaliknya memberikan pahala, surga dan nikmat-Nya kepada orang Mukmin dan mereka yang taat kepada-Nya. Itulah, mengapa para Mufasir pun menjelaskan, bahwa sifat “Ar-Rahim” ini merupakan sifat kasih sayang Allah di akhirat, dimana kasih sayangnya hanya diberikan kepada orang-orang Mukmin dan mereka yang taat, dalam bentuk surga dan nikmatnya.

“Rabb al-‘Alamin”, Dzat yang Maha Mengurus alam semesta. Dia menyebut diri-Nya sebagai “Rabb al-‘Alamin”, yang Maha Mengurus semuanya, selain Allah, “Kullu ma siwa-Llah”. Kalau bukan karena Dia yang mengurus kita, alam dan kehidupan ini, pasti sudah kacau, hancur dan binasa semua. Tetapi, karena Dia, maka alam, manusia dan kehidupan ini bisa tertib. Semuanya rapi, dan teratur. Karena itu, keteraturan alam, manusia dan kehidupan ini membuktikan adanya “Rabb al-‘Alamin”.

“Maliki Yaumi ad-Din”, Dzat yang Maha Menguasai/Memiliki Hari Pembalasan [Yaum al-Jaza’]. Melalui ayat ini, Allah SWT ingin menjelaskan, bahwa karena hidup ini Allah yang menciptakan, dan Allah pula yang memberikan segalanya, maka Allah juga akan meminta pertanggungjawaban terhadap apapun yang telah diberikan kepada manusia di dunia ini. Karena itu, apapun yang kita lakukan di dunia, baik ucapan maupun perbuatan, semuanya harus bisa kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Dalam konteks ini, Q.s. al-Fatihah, mulai ayat 2-4, semuanya menceritakan tentang Allah ‘Azza wa Jalla. Lebih spesifik lagi, berisi pujian kepada diri-Nya. Dimulai dengan, “Al-Hamdu”, yang berarti segala puji. Dalam konteks bahasa, “Al”, pada “Al-Hamdu” adalah “Al Istighraq li khashaish al-afrad” [Al yang berfungsi menyedot semua ciri dan bagian]. Dengan kata lain, ketika Allah menyatakan, “Al-Hamdu” maka semua jenis puja-puji, yang diberikan oleh manusia kepada siapapun dan kepada apapun, seketika itu dicurahkan hanya kepada-Nya, dan tidak diberikan kepada yang lain. Karena, huruf “Li” pada “Li-Llahi” itu mempunyai konotasi, Hashr [membatasi hanya].

Uniknya, ketika Allah SWT memuji diri-Nya, mulai Q.s. al-Fatihah, ayat 2-4, Allah menggunakan gaya bahasa Ghaib [orang ketiga], seolah yang dipuji bukan diri-Nya, tetapi yang lain. Padahal, Allah sedang memuji diri-Nya. Ini merupakan adab yang luar biasa. Tetapi, ketika berbicara tentang menyembah, meminta pertolongan dan berdoa kepada-Nya, Allah SWT menggunakan gaya bahasa Mukhathab [orang kedua]. Lihatlah:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ، اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ...

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus..” [Q.s. al-Fatihah: 5-6]

Allah juga mendahulukan, “Iyyaka Na’budu” [Hanya Engkaulah yang kami sembah], ketimbang, “Iyyaka Nasta’in” [hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan], juga merupakan adab yang luar biasa. Allah hendak mengajarkan, “Berikanlah dulu hak yang lain, baru Engkau meminta”. Menyembah adalah kewajiban hamba kepada-Nya, sekaligus hak-Nya dari hamba, sedangkan memberikan pertolongan adalah “kewajiban” Allah kepada hamba-Nya, sekaligus haknya dari Allah.

Setelah memuji-Nya habis-habisan, dan memberikan apa yang menjadi kewajibannya kepada-Nya, barulah kita meminta kepada-Nya, “Ihdina as-Shiratha al-Mustaqim” [tunjukkanlah kami jalan yang lurus]. Ini juga merupakan adab dan tatacara berdoa kepada-Nya. Tidak tiba-tiba, langsung meminta-Nya, tanpa mengambil “hati”-Nya terlebih dahulu.

Kedua, Q.s. al-Fatihah: 1-7 juga bisa dibagi menjadi dua: Pertama, dari ayat 1-4 berupa ilmu [nalar]. Ilmu tentang apa dan siapa? Ilmu tentang Allah SWT. Coba perhatikan:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai di Hari Pembalasan.” [Q.s. al-Fatihah: 1-4]

Kedua, dari ayat 5-7 berupa tindakan [aksi]. Coba perhatikan:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ، اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ، صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” [Q.s. al-Fatihah: 5-7]

Dengan demikian, melalui Q.s. al-Fatihah ini, Allah hendak mengajarkan kepada kita tentang pentingnya ilmu. Mendahulukan ilmu [nalar] sebelum bertindak. Maka, kita tidak boleh mengambil tindakan, tanpa didasari ilmu [nalar].

Karena itu, Allah mengecam orang-orang Yahudi dan Nashrani, dengan predikat, “Ghairi al-Maghdhubi ‘Alaihim” [bukan orang-orang yang Engkau murkai]. Siapa mereka, yaitu orang-orang yang sebenarnya sudah tahu [mempunyai ilmu/nalar], tetapi tidak menggunakan ilmu dan nalarnya, sehingga sengaja melakukan kesalahan dan kekufuran. Orang Yahudi dan Nashrani jelas telah mendapatkan pengetahuan tentang Nabi Muhammad dan syariatnya dalam kitab suci mereka, tetapi mereka mengingkarinya. Bukan karena tidak tahu, tetapi karena pengetahuan mereka tidak mereka gunakan. Akhirnya, mereka melakukan kesalahan dan kekufuran. Karena itu, Allah murkai mereka.

Begitu juga, Allah mengecam orang-orang Musyrik, dengan predikat, “Wa la ad-dhallin” [bukan pula golongan orang-orang yang tersesat]. Siapa mereka? Mereka adalah orang-orang Musyrik, Arab Jahiliyah, yang tidak mempunyai pengetahuan tentang kebenaran, dan bersikukuh dengan kebodohan mereka. Karena itu, mereka juga dimurkai oleh Allah SWT.

Karena itu, bisa disimpulkan, jika manusia mempunyai ilmu tentang Allah, dan menggunakan ilmu untuk menemukan kebenaran [al-Haq], maka pasti akan ketemu. Dia akan menemukan, “Shiratha al-Mustaqim” [jalan yang lurus], yaitu Islam. Tetapi, jika dia tidak menggunakan ilmu, maka yang dia temukan adalah jalan “al-Maghdhubi ‘Alaihim wa la ad-Dhallin” [orang yang dimurkai dan tersesat].

Ketiga, dari aspek bahasa, struktur kalimat Q.s. al-Fatihah ini juga bisa dipilah menjadi dua. Pertama, jumlah ismiyyah [kalimat nominal]. Kedua, jumlah fi’liyah [kalimat verbal]. Coba perhatian, ayat 2-4, semuanya berbentuk jumlah ismiyyah [kalimat nominal]. Sedangkan ayat 5-7, semuanya berbentuk jumlah fi’liyah [kalimat verbal]. Apa rahasianya?

Dalam kajian ilmu Balaghah, khususnya Ma’ani, kalimat dengan struktur Jumlah Ismiyyah mempunyai konotasi permanen, tidak berubah, seiring dengan waktu dan tempat, karena bersifat fiks. Coba perhatikan:

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai di Hari Pembalasan.” [Q.s. al-Fatihah: 1-4]

Konotasi kalimat di dalam ayat-ayat ini, “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai di Hari Pembalasan.” bersifat permanen, tidak berubah, seiring dengan waktu dan tempat, karena bersifat fiks.

Ini berbeda dengan struktur Jumlah Fi’liyyah, yang mempunyai konotasi temporer, bisa berubah, seiring dengan waktu dan tempat, karena tidak bersifat fiks. Sekarang perhatikan:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ، اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ، صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” [Q.s. al-Fatihah: 5-7]

Konotasi kalimat di dalam ayat-ayat ini, “Hanya Engkaulah yang kami sembah.”, “Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” bersifat temporer, bisa berubah, seiring dengan waktu dan tempat, karena tidak bersifat fiks.

Keempat, tentang keseimbangan [tawazun]. Pertama, keseimbangan antara ilmu dengan tindakan [tawazun bain al-‘ilmi wa al-‘amal]. Kedua, keseimbangan antara isim dan fi’il [tawazun bain al-ismi wa al-fi’l]. Ketiga, keseimbangan antara harapan dan tanggungjawab [tawazun bain al-amal wa al-mas’uliyyah]. Keempat, keseimbangan antara kewajiban beribadah dan meminta pertolongan [tawazun bain al-ibadah wa al-isti’anah]. Kelima, keseimbangan antara ilmu dan amal dengan diperolehnya petunjuk jalan yang lurus, di satu sisi. Di sisi lain, ketika ilmu tidak digunakan dalam amal, atau amal tanpa ilmu, maka akan mendapati jalan orang-orang yang dimurkai, dan jalan orang-orang yang tersesat.

Begitulah indahnya Q.s. al-Fatihah, dan begitulah dahsyat makna surat tersebut. Bukti, bahwa al-Qur’an ini bukanlah susunan manusia biasa, tetapi merupakan mukjizat luar biasa, yang diturunkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya. Wallahu a’lam.

Jum’at Berkah, 07 Rabiuts Tsani 1440 H
14 Desember 2018 M

Posting Komentar untuk "DAHSYATNYA MAKNA SURAT AL-FATIHAH Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA."