Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

CINTA TANAH AIR: ANTARA IMAN DAN NAFSU

CINTA TANAH AIR: ANTARA IMAN DAN NAFSU

حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الإِيمَانِ

“cinta tanah air merupakan bagian dari keimanan”

Ungkapan ini sering digunakan sebagai senjata oleh kaum sekuler untuk menikam perjuangan umat dalam menegakkan syari’ah Allah swt. Framing mulai “tidak memiliki rasa cinta kepada negara” hingga tuduhan yang lebih keji: “ingin menghancurkan negara”, kerap dilontarkan dan dibumbui ‘dalil’ ini.
Ada enam hal yang perlu difahami terkait ungkapan yang sering disebut sebagai hadits tersebut.

Pertama: Hadist di atas adalah hadist maudhu’ (palsu), sebagaimana diungkapkan Imam as Shoghôny (w. 650 H) , dan ‘laa ashla lahu’ (tidak ada ashl nya) menurut para Huffadz .

Kedua: dari sisi makna, jika dikatakan ‘haditsnya dho’if/palsu namun maknanya shahih’, maka maknanya bukan seperti yang difahami oleh orang-orang yang menolak sistem hukum syari’ah. Al Harawi (w. 1014H) dalam Asrôrul Marfû’ah Fi Akhbâril Maudhû’ah, hal 181 menyatakan:

ثُمَّ الْأَظْهَرُ فِي مَعْنَى الْحَدِيثِ إِنْ صَحَّ مَبْنَاهُ أَنْ يُحْمَلَ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِالْوَطَنِ الْجَنَّةُ فَإِنَّهَا الْمَسْكَنُ الْأَوَّلُ لِأَبِينَا آدَمَ ... أَوِ الْمُرَادُ بِهِ مَكَّةُ فَإِنَّهَا أُمُّ الْقُرَى وَقِبْلَةُ الْعَالَمِ أَوِ الرُّجُوعُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى عَلَى طَرِيقَةِ الصُّوفِيِّينَ فَإِنَّهُ الْمَبْدَأُ وَالْمَعَادُ ... أَوِ الْمُرَادُ بِهِ الْوَطَنُ الْمُتَعَارَفُ لَكِنَّ بِشَرْطِ أَنْ يَكُونَ سَبَبَ حُبِّهِ صِلَةُ أَرْحَامِهِ وَإِحْسَانُهُ إِلَى أهل بَلَده مِنْ فُقَرَائِهِ وَأَيْتَامِهِ

“kemudian yang lebih tepat tentang makna hadits tersebut– jika shahih – mengandung pengertian bahwa yang dimaksud dengan al wathan (tanah air) itu adalah surga, karena surga adalah tempat tinggal (tanah air) pertama moyang kita, yakni Adam… atau yang dimaksud al wathan itu adalah Makkah, karena Makkah adalah Ummul Quro dan kiblat dunia, atau yang dimaksud al wathan itu merujuk kepada Allah menurut metode (pemahaman) para sufi, karena Allahlah asal segala sesuatu dan tempat kembalinya, atau yang dimaksud adalah al wathan (tanah air) pada umumnya, akan tetapi dengan syarat bahwa sebab kecintaannya itu adalah karena silaturahmi, berbuat baik kepada penduduknya yang faqir dan anak-anak yatim” .

Ketiga, cinta tanah air, sebagaimana Nabi saw mencintai Makkah dan Madinah, adalah cinta yang dilandasi iman, cinta karena Allah, bukan sekedar rasa belaka. Lagi pula, walaupun beliau tanah airnya adalah Makkah, namun beliau mencintai Madinah bahka lebih daripada Makkah, juga memuji-muji negeri Syam dalam banyak hadits beliau.

Anas r.a berkata:
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ ، فَنَظَرَ إِلَى جُدُرَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ رَاحِلَتَهُ ، وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ ، حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا

“Bahwa Nabi saw jika tiba dari perjalanan, dan melihat dinding-dinding Madinah, maka Nabi mempercepat ontanya. Jika Nabi diatas tunggangan (seperti keledai dan baghal), maka Nabi menggerakkannya, karena cintanya beliau terhadap Madinah” (HR al-Bukhari)

Beliau pernah berdo’a:
اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا المَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ

“Ya Allah, jadikanlah kami mencintai Madinah sebagaimana kami mencintai Makkah atau lebih lagi”. (HR. al Bukhari).

Bukti bahwa Beliau mencintai Makkah karena Allah, bukan karena nafsu, adalah ketika Makkah diliputi kedzaliman dan kekufuran, beliau tidak mendiamkannya, Beliau justru berusaha mengubahnya, bahkan ketika Beliau mendapatkan kekuasaan yang syar’i di Madinah, beliau mengerahkan pasukan untuk melakukan penaklukan kota Makkah dan menjungkirbalikkan berhala dan sesembahan nenek moyangnya.

Dalam kacamata penduduk Makkah saat itu, tentu prilaku Rasulullah ini akan dianggap menghianati tanah kelahirannya sendiri, sebagaimana orang-orang sekuler yang teracuni paham Nasionalisme akan menganggap perjuangan untuk menyelamatkan negeri ini dengan menerapkan hukum-hukum Allah sebagai bentuk penghianatan terhadap negeri ini, hanya karena Islam tidak diturunkan di negeri ini. Di sisi lain mereka lupa bahwa mayoritas hukum yang dipakai di negeri ini adalah hukum warisan Belanda, seolah-ola

h Belandalah nenek moyang mereka yang pantas mereka bela.

Keempat, kecintaan kepada tanah air, termasuk kesukuan dan kebangsaan jika terlepas dari iman, maka itu justru haram. Sungguh tercela jika dengan alasan nasionalisme, cinta tanah air, lalu membutakan mata hati sehingga tidak lagi berpihak pada Islam, kebijakan dan adat yang kelirupun akan dipertahankan mati-matian, sebagaimana syair jahiliyyahnya Duroid bin Shimmah:

وَهَلْ أَنَا إِلَّا مِنْ غَزِيَّةَ إِنْ غَوَتْ* غَوَيْتُ وَإِنْ تَرْشُدْ غَزِيَّةُ أَرْشُدِ

“Aku ini tiada lain adalah warga suku Ghaziyyah, apabila mereka sesat, aku (ikut) sesat. Kalau suku Ghaziyyah benar, aku pun turut benar.” (Nasywatut Tharbi fy Târîkhi Jâhiliyyatil ‘Arab, hal. 510).

Rasulullah bersabda:

وَمَنْ قَاتَل تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ أَوْ يَدْعُو إِلَى عَصَبَةٍ أَوْ يَنْصُرُ عَصَبَةً فَقُتِل فَقِتْلَةٌ
جَاهِلِيَّةٌ

Dan barangsiapa mati di bawah bendera kefanatikan, dia marah karena fanatik kesukuan atau menyeru kepada kefanatikan atau menolong (berperang) karena kefanatikan kemudian dia terbunuh, maka matinya seperti mati jahiliyah. (HR. Muslim).

Bintu Watsilah Ibnul Asqa' pernah mendengar Bapaknya bertanya kepada Rasulullah:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْعَصَبِيَّةُ؟ قَالَ: أَنْ تُعِينَ قَوْمَكَ عَلَى الظُّلْمِ
"Wahai Rasulullah, Ashabiyah (fanatik kesukuan) itu apa?" beliau menjawab: "Engkau tolong kaummu dalam kezaliman." (HR. Abu Daud).

Sikap dan ide seperti ini, yakni membabi buta ‘membela’ sesuatu tanpa melihat benar dan salahnya dalam timbangan syari’ah, baik ide ini mau disebut fanatisme, ashobiyyah, primordialisme, maupun mau disebut nasionalisme, jika isinya memang seperti ini, maka ini adalah kebusukan yang harus ditinggalkan, Rasulullah katakan:
دَعُوْهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ
“tinggalkanlah itu, karena dia itu busuk” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kelima, jika seseorang mencintai sesuatu dengan cinta yang benar, tentu dia akan menginginkan kebaikan atas sesuatu tersebut dan tidak akan merusaknya. Seorang pemuda yang benar-benar mencintai seorang gadis, tentu dia tidak akan menjerumuskan gadis tersebut dalam perzinaan dengannya, walau mungkin keduanya sama-sama ‘menginginkan’nya. Jika dengan alasan cinta, sang pemuda justru meminta bukti agar gadis tersebut mau berzina dengannya, maka sebetulnya itu bukan cinta, namun sekedar pelampiasan nafsu yang diberi label cinta.

Begitu juga dengan tanah air, jika seseorang mengaku cinta terhadap tanah airnya, lalu membiarkan bahkan mengokohkan sistem yang merusak tanah airnya tersebut, kekayaan alamnya dibiarkan dijarah asing, budayanya ditulari budaya yang rusak, apa yang diwajibkan Allah agar diterapkan di negerinya tidak dihiraukannya kecuali untuk hal-hal yang menguntungkan dirinya saja, apa yang diharamkan Allah justru dibiarkan merajalela di negerinya bahkan dicarikan dalih pembenaran, maka sikap seperti ini bukanlah cinta kepada tanah air dengan landasan iman, namun sekedar melabeli diri dengan ungkapan cinta padahal hakikatnya hanya memperturutkan nafsu, selama keinginannya terpenuhi, apapun akan bisa dibelanya dengan tetap mengatakan ‘cinta tanah air’, jika Belanda menang maka Belanda yang dibela asalkan dapat keuntungan, jika PKI yang dominan maka PKI akan dibela dan dicarikan dalih pembenaran.

Keenam, tidak ada kebaikan atas suatu negeri, kecuali jika negeri tersebut dipenuhi dengan ketaatan kepada seluruh hukum-hukum Allah swt, menolak hukum Allah, baik seluruhnya atau sebagian, adalah pangkal kerusakan. Pantaskah seorang pencinta yang hakiki rela negerinya rusak karena kemasiyatan?. Rasulullah menyatakan:

وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ

Dan tidaklah pemimpin-pemimpin mereka enggan menjalankan hukum-hukum Allah dan mereka memilih-milih apa yang diturunkan Allah, kecuali Allah akan menjadikan bencana di antara mereka. (HR. Ibnu Majah).

“Cinta pada tanah air tidak dilarang oleh agama. Cinta tanah air bagi seorang muslim adalah memajukan pelajaran, perekonomian, pertukangan dan sebagainya

yang memajukan kaum muslimin dan memakmurkan negri-negrinya. Hal ini, supaya kaum muslimin dan negeri-negerinya, sekurang – kurangnya tidak berada dibawah derajat negeri lainnya. Juga supaya negeri-negeri Islam diurus oleh orang-orang Islam sendiri dengan hukum dan peraturan yang terdapat di dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.” (Kutipan tulisan Ahmad Hasan kepada Ir. Sukarno).

Dengan enam hal tersebut, jelaslah sebenarnya siapa yang lebih pantas disebut cinta tanah air, dan siapa yang lebih layak disebut perusak negara. Allaahu A’lam. (M Taufik NT)

Posting Komentar untuk "CINTA TANAH AIR: ANTARA IMAN DAN NAFSU"