Jenjang Pendidikan dalam Negara Khilafah
Menurut Ibnu Ali, Lajnah Fa’aliyah HTI Jawa Timur, beliau membagi
proses pendidikan menjadi tiga pilar, yakni (1) pendidikan di keluarga
(pendidikan informal), (2) pendidikan di sekolah/kampus (pendidikan formal),
dan (3) pendidikan di masyarakat (pendidikan nonformal).
(1) Pendidikan
di keluarga
Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang anak yang lahir itu
kecuali dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi,
Nasrani atau Majusi.” (HR. Muslim)
Hadits ini telah menunjukkan kepada kita bahwa peranan keluarga
terutama orang tua sangatlah vital dalam perkembangan pendidikan seorang anak.
Maka
memang wajar, proses pendidikan dalam keluarga disebut sebagai pendidikan yang
pertama dan utama, karena di dalam keluarga anak anak berhubungan langsung
dengan orang tua dengan intensitas yang sangat tinggi.
Seorang muslim berkewajiban untuk berdakwah terlebih dulu kepada
anggota keluarga dan kerabat dekatnya. Seperti yang telah difirmankan oleh
Allah swt :
“Berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” QS.
Asy-Syu’ara [26]: 21)
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari
siksa api neraka.” (QS. At-Tahrim [66]: 6)
Waktu pendidikan dalam keluarga pun telah dan harus dimulai sejak
usia anak dalam kandungan hingga menginjak usia baligh dan memasuki jenjang
pernikahan; dan bahkan akan terus berlangsung hingga usia tua. Rasul SAW.
Bersabda: “Tuntutlah ilmu sejak dari ayunan hingga liang lahat.”
Pokok pokok tanggung jawab pendidik, baik ibu atau bapak dapat
disebutkan sebagai berikut :
1.
Pendidikan Iman yang meliputi dengan mengajarkannya kalimat tauhid,
mengenalkan hokum halal dan haram, menyuruh mereka beribadah ketika mereka berumur
7 tahun, mendidik mereka untuk mencintai Rasulullah Saw, keluarga dan membaca
Al Quran.
2.
Pendidikan Moral yang meliputi penghindaran terhadap taklid buta,
tidak larut dalam kemewahan, menghindari musik dan lagu yang berpotensi
negative terhadap perkembangan anak, tidak bersikap menyerupai lawan jenis, dan
memperhatikan kegiatan anak, seperti pamer diri, pergaulan bebas dan tontonan.
3.
Pendidikan Fisik yang meliputi memberikan nafkah kepada keluarga
dan anak, mengikuti aturan yang sehat dalam hal makanan, minuman dan tidur,
melindungi anak anak dari pergaulan bebas yang berpotensi terhadap suatu
penyakit menular, pengobatan terhadap penyakit, mengajarkan tentang prinsip
larangan untuk menyakiti diri sendiri, membiasakan anak anak berolahraga,
mengajarkan zuhud, dan membiasakan anak untuk bersikap tegas,.
4.
Pendidikan Rasio (Nalar) meliputi kewajiban mengajar bagi orang
tua, menumbuhkan kesadaran berpikir bagi anak, dan pemeliharaan kesehatan rasio
anak.
5.
Pendidikan Kejiwaan meliputi menghindari anak kepada sikap minder,
penakut, kurang percaya diri, dengki dan pemarah.
6.
Pendidikan Sosial meliputi menanamkan jiwa mulia dengan cara
menjaga hak hak orang lian, etika social dan pengawasan yang intensif.
7.
Pendidikan Seksual yang meliputi pengajaran etika meminta izin,
melihat, menghindarkan anak dari segala hal yang merangsang seksualnya,
mengajarkan kepada anak tentang hokum di masa pubertas dan baligh, penjagaan
diri, serta masalah perkawinan.
(2)
Pendidikan di sekolah/kampus
Pengelompokkan
jenjang (marhalah) pendidikan harus dibagi ke dalam tingkatan yang
memperhatikan tingkat umur. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan pengaturan
hubungan manusia dengan lainnya sesuai dengan Islam, yang memiliki hokum hokum
dari Sang Maha Pencipta dan Maha Pengatur, Rabb seluruh alam, serta dituntut
untuk senantiasa terikat dengan hokum hokum tersebut (Yasin, 2012 : 33).
Seperti
yang telah difirmankan oleh Allah SWT dalam surat Annur ayat 59 yang artinya “Dan
apabila anak-anakmu telah dewasa maka hendaklah mereka meminta izin sebagaimana
meminta izinnya orang-orang telah terdahulu tadi….”
Selain
itu, Rasulullah SAW bersabda "Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan
shalat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka saat usia sepuluh
tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka." (Dishahihkan oleh Al-Albany
dalam Irwa'u Ghalil, no. 247). Hadits di atas menunjukkan bahwa pendidikan pada
masa kanak kanak dibagi dalam dua tahapan, yakni
1.
Tahap sebelum seorang anak menginjak usia 10 tahun. Dalam
pendidikannya tidak mengenal pukulan, baik itu untuk dalam hal shalat maupun
yang lain.
2.
Tahap setelah seorang anak berusia 10 tahun. Pendidikan dalam tahap
ini diperbolehkan memberikan sanksi (pukulan) yang mendidik jika memang
diperlukan. Sedangkan hokum hudud tidak diperkenankan kecuali jika usia anak
sudah baligh. Hal ini didasarkan oleh sabda Rasulullah saw : “Diangkat pena
pencatat amal dari tiga kelompok; (1) anak kecil sampai ia baligh, (2) orang
gila sampai ia sadar, dan (3) orang tidur sampai ia bangun.”
Dari
uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa di Negara khilafah jenjang pendidikan
dibagi berdasarkan usia bukan dari materi pelajaran. Oleh karena itu, jika anak
telah mencapai usia 10 tahun maka ia dipertimbangkan untuk segera melanjutkan
sekolah ke tingkat II tanpa memperhatikan prestasi belajarnya.
Atas dasar itu,
sekolah dibagi menjadi tiga jenjang;
(1)
sekolah tingkat I (ibtidaiyah)/usia genap 7 tahun-hingga 10 tahun;
(2)
sekolah tingkat II (mutawasithah)/usia genap 10 tahun-14 tahun;
(3)
sekolah tingkat III (tsanawiyah)/usia genap 14 tahun hingga
berakhirnya jenjang pendidikan dasar.
Hizbut Tahrir (Usus at-Ta‘lîm al-Manhaji fî Dawlah
al-Khilâfah:28-31) menyatakan bahwa jenjang akademiknya (pendidikan dasar)
terdiri dari 36 semester yang berkesinambungan. Masing-masing semester memakan
waktu 83 hari. Jadwal siklus akademik selama 1 tahun adalah sebagai berikut:
·
Semester I dimulai pada 1 Muharram-25 Rabiul Awwal
·
Semester II dimulai 28 Rabiul Awwal-22 Jumada ats-Tsani
·
Semester III dimulai 25 Jumada ats-Tsani-20 Ramadhan
·
Semester IV dimulai 23 Ramadhan-27 Dzulhijjah
Dalam buku Menggagas
Pendidikan Islami, Muhammad Yusanto mengatakan bahwa Khalifah Umar bin Khattab
dalam wasiat yang dikirimkan kepada gubernur-gubernurnya menulis, “Sesudah itu,
ajarkanlah kepada anak anakmu berenang dan menunggang kuda, dan ceritakan
kepada mereka adab sopan santun dan syair-syair yang baik.” Khalifah Hisyam bin
Abdul Malik mewasiatkan kepada Sulaiman al-Kalby, guru anaknya: “Sesungguhnya
anakku ini adalah cahaya mataku, saya percayakan padamu mengajarnya. Hendaklah
engkau bertakwa kepada Allah dan tunaikanlah amanah. Dan yang pertama-tama saya
wasiatkan kepadamu adalah agar engkau mengajarkan kepadanya Al-Qur’an, kemudian
hafalkan kepadanya Al-Qur’an,”
(3) Pendidikan di tengah masyarakat
Menurut
Heri Jauhari Muchtar, pendidikan di tengah masyarakat identik dengan dakwah.
Masyarakatlah sebagai subyek dan sekaligus objek dakwah. Mendidik masyarakat
berarti berdakwah, yang berarti membina, mengarahkan, menasehati serta menjadikan
masyarakat agar baik atau lebih baik keadaannya.
Terdapat
banyak firman Allah (ayat-ayat Allah) dan sabda-sabda Rasulullah (hadis-hadis)
yang memerintahkan untuk berdakwah, di antaranya:
”Kamu adalah sebaik-baik umat yang diciptakan Tuhan, guna menyuruh
manusia berbuat kebajikan dan melarangnya melakukan kemungkaran”. (QS. Ali Imran[3]: 110).
“Dan hendaklah
ada di antaramu segolongan umat yanJg menyeru kepada kebaikan (Islam), menyeru
melaksanakan kebaikan dan melarang berbuat kemungkaran, mereka itulah
orang-orang beruntung”. (QS.
Ali Imran[3]:104).
”Barangsiapa
melihat kemungkaran maka cegahlah dengan tangan (kekuatan, kekuasaan, jabatan),
bila tidak bisa maka cegahlah dengan lisan (teguran, nasehat), apabila tidak
bisa maka lawanlah dengan hati, itu merupakan pertanda lemahnya iman”. (HR. Muslim).
Masyarakat yang
berfungsi mendidik inilah yang disebut sebagai learning society, yakni ketika
proses pendidikan berjalan bagi seluruh anggota masyarakat melalui interaksi
keseharian yang selalu bernuansa amar ma’ruf dan nahi mungkar. Setiap anggota
masyarakat akan selalu mendapatkan masukan positif dari hasil interaksinya itu
(Buklet Hizbut Tahrir Negara Indonesia : 2009)
Posting Komentar untuk "Jenjang Pendidikan dalam Negara Khilafah"