BATASAN DAN BENTUK KEKERASAN DI SEKOLAH (Dr. Susanto, MA)
A.
BATASAN DAN BENTUK KEKERASAN DI SEKOLAH (Dr. Susanto, MA)
1. DESKRIPSI SINGKAT
Materi tentang bentuk dan batas kekerasan di satuan pendidikan, membahas
seputar; definisi kekerasan, bentuk kekerasan, batas kekerasan, faktor pemicu
kekerasan serta upaya solutif yang perlu dilakukan.
2. RELEVANSI
Pengetahuan tentang bentuk dan batas kekerasan di satuan pendidikan
merupakan kebutuhan pengetahuan dasar bagi pendidik untuk menyelenggarakan
proses pembelajaran yang ramah anak.
3. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS
a.
Guru mampu
memahami dan menganalisis bentuk dan batas kekerasan di satuan pendidikan.
b.
Guru mampu
mengevauasi praktik kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan.
c.
Guru mampu
mengembangkan variasi model dan praktik pembelajaran yang ramah anak
4. URAIAN MATERI
a.
Definisi Kekerasan
Menurut UU No. 35 Tahun 2014 Pasal 1 tentang Pelindungan Anak, kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
b.
Kekerasan ditinjau dari Tinjauan
Perundang-undangan
Dari sisi peraturan perundang-undangan, Indonesia dapat
dikategorikan sebagai negara yang memiliki komitmen besar bagi perlindungan
anak dari kekerasan. Komitmen tersebut bukan hanya termaktub dalam
undang-undang, namun secara jelas tercantum dalam UUD 1945. Pasal 28 B ayat 2 “Setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi”. Menurut konstitusi tersebut,
negara memastikan tak boleh ada anak Indonesia mendapat tindakan kekerasan
dalam bentuk apapaun, kapanpun dan dimanapun, termasuk di satuan pendidikan.
Begitu tingginya komitmen perlindungan anak dalam pendidikan, UU No. 35 Tahun 2014 atas perubahan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara eksplisit banyak mengurai perlindungan anak dalam pendidikan. Dalam UU tersebut, menyebut kata “pendidikan” 19 Kali, menyebut kata “pendidik” 6 kali, kata “kependidikan” 6 kali, menyebut 2 kali kata “satuan pendidikan”, menyebut 14 kali kata “kekerasan” dan 2 kata “kekerasan di satuan pendidikan”. Sedangkan UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, kata “pendidikan” disebut 10 kali. Sementara dalam Kovensi Hak Anak yang sebagai bentuk komitmen internasional menyebut kata “pendidikan” 12 kali.
UU No. 35 Tahun 2014 atas perubahan UU No. 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, pasal 9 ayat 1 secara tegas menyatakan (a), “setiap
Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan
seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama
peserta didik, dan/atau pihak lain”. Sementara pasal 54 menegaskan bahwa “anak
di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan
dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya
yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik,
dan/atau pihak lain”.
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, Pasal 7 menegaskan bahwa “Pencegahan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dilakukan oleh peserta didik, orangtua/wali peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, satuan pendidikan, komite sekolah, masyarakat,pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi, dan Pemerintah sesuai dengan kewenangannya”.
Di pihak lain, pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, Pasal 3 secara eksplisit menegaskan bahwa “pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan bertujuan untuk: a.melindungi anak dari tindakan kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan maupun dalam kegiatan sekolah di luar lingkungan satuan pendidikan;b.mencegah anak melakukan tindakan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan maupun dalam kegiatan sekolah di luar lingkungan satuan pendidikan;dan c.mengatur mekanisme pencegahan, penanggulangan, dan sanksi terhadap tindakan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan yang melibatkan anak, baik sebagai korban maupun pelaku”.
Meskipun dari sisi norma, negara telah menunjukkan
komitmennya memberikan perlindungan anak dari kekerasan dengan berbagai beragam
bentuk dan pola. Tampaknya, kekerasan yang terjadi tak hanya mewujud dalam
bentuk kekerasan fisik, seksual, emosional, kekerasan simbolik, berbasis dunia maya, namun dalam banyak kasus
juga terjadi kekerasan dalam bentuk kebijakan.
c.
Bentuk dan Batas Kekerasan di Satuan
Pendidikan
Kekerasan merupakan tindakan
yang tidak dibenarkan, baik dilihat dari prinsip-prinsip pendidikan maupun
perlindungan anak. Tidak ada satu aturan dalam penyelenggaraan pendidikan,
mulai undang-undang hingga peraturan menteri terkait penyelenggaraan pendidikan
yang mengizinkan praktik kekerasan.
Dari sisi kasus, Indonesia merupakan negara yang mengadapi kekerasan terhadap anak cukup serius. Kekerasan di sekolah terjadi dengan berbagai macam bentuk mulai fisik, psikis, hingga seksual. Dalam berbagai bentuk kekerasan itu, anak menjadi korban atau pelaku, atau korban dan sekaligus pelaku. Tawuran, kekerasan saat MOS, dan bullying bahkan menjadi tradisi di sebagian sekolah yang seringkali melibatkan anak secara masif.
Kekerasan terhadap anak di sekolah merupakan masalah yang
perlu segera dihentikan dan diputus mata rantainya. Usia anak sekolah merupakan
korban cukup besar dari kasus kekerasan yang ada. Tak jarang anak usia sekolah
bukan hanya menjadi korban tetapi juga menjadi pelaku kekerasan. Data pengaduan
KPAI Tahun 2015, menunjukkan bahwa anak korban kekerasan sebanyak 127 siswa,
sementara anak menjadi pelaku kekerasan di sekolah 64 siswa. Anak korban
tawuran 71 siswa, sementara anak menjadi pelaku tawuran 88 siswa. Di pihak
lain, hasil riset global Ispsos bekerjasama dengan Reuters, menempatkan kasus bullying
sebagai masalah serius. Sebanyak 74% responden dari Indonesia menunjuk Facebook
sebagai media tempat terjadinya cyberbullying. Korban cyberbullying
umumnya anak usia sekolah. Plan International dan International Center for
Research on Women (ICRW) melaporkan bahwa terdapat 84% anak di Indonesia
mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di
kawasan Asia yakni 70%. Riset ini dilakukan di 5 negara Asia, yakni Vietnam,
Kamboja, Nepal, Pakistan, dan Indonesia yang diambil dari Jakarta dan Serang,
Banten. Selain itu, data dari Badan PBB
untuk Anak (Unicef) menyebutkan, 1 dari 3 anak perempuan dan 1 dari 4 anak
laki-laki di Indonesia mengalami kekerasan. Data ini menunjukkan kekerasan di
Indonesia lebih sering dialami anak perempuan
Ragam data terkait kekerasan terhadap anak usia sekolah dapat menjadi catatan. Namun jumlah tersebut sejatinya merupakan fenomena gunung es dan belum merepresentasikan fakta kekerasan yang sesungguhnya terjadi di lingkungan satuan pendidikan. Karena tak semua kasus kekerasan terdata, terlaporkan dan tertangani oleh lembaga layanan, sehingga datanya belum terakumulasi secara nasional.
Seringkali kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan, menunjukkan beberapa tipologi. Pertama, suatu tindakan yang sudah tergolong kekerasan, tetapi oleh tenaga pendidik dan kependidikan belum dipahami sebagai kekerasan, tetapi masih kategori pendidikan. Kedua, disadari sebagai tindakan kekerasan tetapi oleh tenaga pendidik dan kependidikan diyakini sebagai pendekatan efektif untuk pendisiplinan. Ketiga, disadari sebagai tindakan kekerasan, tetapi karena sudah menjadi tradisi, sehingga tetap dipertahankan.
Kelemahan pendidik dan tenaga kependidikan dalam memandang praktik kekerasan di satuan pendidikan, seringkali belum dipahami dengan perspektif yang sama. Diantara masalah yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan, meliputi: (1), belum bisa membedakan antara wilayah pelanggaran dengan wilayah pendidikan; (2), pendisiplinan disamakan dengan hukuman; (3), kekerasan dimaknai sebagai ketegasan; (4), sanksi menjadi andalan daripada konsekuensi; (5), pendekatan kekerasan dipahami untuk menjaga kewibawaan; (6), pendekatan kekerasan sebagai bentuk mental capacity.
Bentuk-bentuk kekerasan yang seringkali terjadi di sekolah, meliputi :
1)
Kekerasan
Fisik, yaitu setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik. Bentuk kekerasan fisik diantaranya, menampar,
menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang,
menghukum dengan berlari keliling lapangan, menghukum dengan cara push-up
2)
Kekerasan
Psikis yaitu setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara psikis. Bentuk kekerasan psikis
diantaranya; memandang sinis, memandang penuh ancaman, mendiamkan, mengucilkan,
meneror lewat pesan pendek telepon genggam atau e-mail, memandang yang
merendahkan, memelototi, dan mencibir;
3)
Kekerasan
Verbal, yaitu , yaitu setiap perbuatan dalam wujud verbal yang berakibat
timbulnya kesengsaraan dan penderitaan anak. Bentuk kekerasan verbal
diantaranya; memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, mempermalukan di depan
umum, menuduh, menyoraki, menebar gossip, memfitnah dan menolak.
4)
Kekerasan
Simbolik, yaitu setiap perbuatan dalam wujud simbolik yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan anak. Bentuk kekerasan simbolik diantaranya;
gambar-gambar yang menyimbolkan kekerasan di buku-buku pelajaran, gambar-gambar
yang menyimbolkan pornografi, gambar-gambar yang menyimbolkan diskriminasi, dll
yang sekarang banyak muncul dalam buku-buku pelajaran.
5)
Kekerasan
Seksual, yaitu , yaitu setiap perbuatan dalam bentuk seksual yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan anak. Bentuk kekerasan seksual,
diantaranya; memegang, meremas bagian sensitif, berhubungan badan tanpa atau
dengan paksaan, dan bentuk lain yang mengarah pada kekerasan seksual.
6)
Kekerasan
Cyber, yaitu setiap perbuatan menggunakan media cyber berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan anak. Bentuk kekerasan cyber, diantaranya;
mempermalukan, merendahkan, menyebar gossip di jejaring sosial internet (misal
: Facebook);
d.
Faktor Pemicu Kekerasan di Satuan
Pendidikan
Beragam masalah munculnya kekerasan di sekolah dipicu oleh beragam faktor. Faktor dominan yang cukup berpengaruh meliputi; sistem manajemen, mindset pendidik dan tenaga kependidikan, norma sekolah, pola pendisiplinan serta kultur di sekolah.
Pertama, sistem manajemen. Sistem manajemen merupakan pilar utama yang sangat berpengaruh bagi kualitas perlindungan anak di sekolah. Apalagi dalam sistem manajamen mencakup perencanaan, pengendalian hingga pengambilan keputusan. Dalam banyak kasus, kekerasan dan diskriminasi dipicu oleh bangunan sistem yang dianut oleh suatu sekolah. Gaya kepemimpinan merupakan bagian dari komponen sistem dimaksud. Gaya kepemimpinan otoriter seringkali memicu perilaku kekerasan baik dilakukan oleh guru, kepala sekolah, tenaga keamanan maupun anak. Di pihak lain, gaya kepemimpinan yang permisif berpotensi melakukan pembiaran terhadap perilaku kekerasan yang muncul di lingkungan sekolah, baik kekerasan dalam proses pembelajaran, kegiatan ekstra maupun kegiatan kekerasan yang terjadi dalam kegiatan intra sekolah. Anak menjadi korban bully seringkai dianggap hal biasa untuk dunia anak, padahal secara prinsip bully tak boleh hadir dalam dunia pendidikan. Longgarnya bullying tumbuh di sekolah tak jarang terkondisikan oleh pola manajemen yang permisif.
Kedua, mindset tenaga pendidik dan kependidikan. Terminologi mindset terdiri darI dua buah kata, yaitu mind dan set. “mind” adalah pemikiran, atau bisa disebut sebagai sumber kesadaran yang dapat menghasilkan pikiran, ide, perasaan, dan persepsi, dan dapat menyimpan memori dan pengetahuan. Sedangkan “set” adalah keadaan utuh atau mendahulukan peningkatan kemampuan dalam suatu kegiatan. Dengan demikian, mindset adalah sekumpulan kepercayaan dan cara berpikir yang dapat menentukan pandangan, perilaku, sikap, dan juga masa depan seseorang.
Mindset mengendalikan sikap yang dimiliki seseorang untuk menentukan respons dan
pandangan terhadap sebuah situasi. Seseorang melakukan
sesuatu karena didorong dan digerakkan oleh pola pikirnya. Tenaga pendidik dan kependidikan yang
melakukan kekerasan seringkali didorong oleh cara berfikir dan keyakinan yang
melekat pada dirinya. Tak sedikit guru mencubit siswa dipandang sebagai bentuk
pendidikan bukan kategori pelanggaran. Masih banyak guru yang menghukum siswa
hingga sakit dianggap hal wajar bukan pelanggaran prinsip pendidikan. Padahal
tak ditemukan dalam seluruh peraturan penyelenggaraan pendidikan, mulai dari undang-undang
hingga peraturan teknis yang mengizinkan tenaga pendidik dan kepenidikan
melakukan tindkaan kekerasan.
Ketiga, norma
sekolah. Kata norma berasal dari bahasa
Belanda norm, yang berarti pokok kaidah, patokan, atau pedoman. Dalam
Kamus Hukum Umum, kata norma atau norm diberikan pengertian sebagai
kaidah yang menjadi petunjuk, pedoman bagi seseorang untuk berbuat atau tidak
berbuat, dan bertingkah laku. Dalam
konteks sekolah, norma bisa dalam bentuk tertulis maupun tak tertulis. Norma
tertulis seperti tata tertib atau kebijakan lain yang mengingat semua warga
sekolah termasuk siswa. Sementara norma yang tak tertulis bisa dalam bentuk
yang bermacam-macam, baik terkait dengan etika, maupun pendisiplinan di
sekolah.
Ragam kekerasan di sekolah tampaknya tak jarang dipicu oleh norma yang ada. Fatalnya, seringkali norma bersifat given, siswa tak dilibatkan dalam penyusunan sehingga perspektif norma berdasarkan tafsir tunggal kepala sekolah, guru atau guru BK, bukan tafsir bersama. Akibatnya anak dalam posisi lemah dan dilemahkan oleh norma.
Anak mendapat
kekerasan dalam masa orientasi siswa baru tak jarang dipicu oleh norma yang tak
tertulis. Anak diejek, dipermalukan, dipukul tak jarang dipandang sebagai hal
yang lazim, meski sejatinya tak senafas dengan perlindungan anak. Fatalnya,
korban juga tak menyadari bahwa apa yang dirasakan bukan sebagai bentuk
pelanggaran, namun sebagai sebagai hal yang patut.
Keempat, pendisiplinan. Pendisiplinan adalah usaha untuk menanamkan nilai agar subjek memiliki kemampuan untuk menaati sebuah peraturan. Dalam prakteknya, pendisiplinan berbentuk corporal punishment yaitu adalah hukuman yang menimbulkan penderitaan yang dilakukan dengan sengaja dengan maksud untuk mendisiplinkan atau memperbaiki/mengubah perilaku dari sesorang yang melakukan kesalahan. Corporal punishment terbagi atas tiga tipe utama; pertama, parental corporal punishment, merupakan kekerasan atas nama pengasuhan di lingkup keluarga. Kedua, school corporal punishment, misalnya kekerasan atas nama pendisiplinan di sekolah. Ketiga, judicial corporal punishment, misalnya tindakan kekerasan nama koridor hukum yang ada.
Paradigma school corporal punishment, telah mengakar dalam dunia pendidikan. Padahal secara prinsip kekerasan tak bersenyawa dengan dunia pendidikan. Guru dengan alasan mendisiplinkan seringkali men-sahih-kan memukul tangan dengan penggaris, menjambak rambut karena terlalu panjang, menyuruh push up karena terlambat, menampar kepala karena tak dapat membaca dengan lancar. Mereka berpandangan bahwa guru berhak menentukan bentuk punsihment yang dipilih. Fatalnya, hukuman fisik dipandang sebagai cara ampuh untuk menyadarkan murid dan mencapai tujuan pendidikan dan menyiapkan generasi emas, bukan untuk menyakiti.
e.
Pencegahan Kekerasan Anak di Satuan Pendidikan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “pencegahan” diartikan sebagai
proses, cara, tindakan mencegah atau tindakan menahan agar sesuatu tidak
terjadi. Dengan demikian, pencegahan merupakan tindakan. Pencegahan identik
dengan perilaku.
Problematika kekerasan terhadap anak di sekolah harus
segera diakhiri. Negara, pemerintah dan seluruh elemen penyelenggara
perlindungan anak, perlu melakukan langkah segera untuk mengatasinya.
Pertama, tingginya angka kekerasan terhadap anak di sekolah menunjukkan tingginya pelanggaran hak anak. Negara dalam hal ini perlu langkah segara agar kekerasan dapat diakhiri. Upaya strategis yang perlu dilakukan adalah penerbitan peraturan minimal peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan yang bersifat imperatif untuk mencegah terjadinya kekerasan di satuan pendidikan.
Kedua, khittah sekolah sebagai lembaga pendidikan sarat dengan penyemai nilai-nilai luhur. Namun tampaknya dewasa ini tak jarang tergerus oleh paradigma persekolahan yang kering dengan nilai, namun penuh dengan target-target dan beban. Hakikat pendidikan telah bergeser menjadi persekolahan. Akar kekerasan tak dicerabut, seringkali fokus pada hilir dan lupa pada hulu. Maka manajemen sekolah berbasis perlindungan anak perlu segera menjadi kebijakan nasional.
Ketiga, kekerasan terhadap
anak di sekolah selama ini masih kurang mendapat perhatian dari para
stakeholder pendidikan, jauh berbeda dengan perhatian terhadap pencapaian
prestasi akademik atau pemenuhan sarana dan prasarana fisik. Padahal, dampak
kekerasan sangat serius terhadap anak. Oleh karena itu, pendekatan manajemen
sekolah harus holistik dan didekati dengan berbagai perspektif, tidak hanya
berorientasi akademik, tetapi juga penguatan keterampilan karakter serta
memastikan perlindungan anak terwujud di semua sekolah. Ketersediaan norma ramah
anak, penguatan perspektif tenaga pendidik dan kependidikan tentang
perlindungan anak, pelibatan anak dalam perumusan norma sekolah serta budaya
ramah anak diantara indikator dasar upaya pemastian perlindungan anak
dioperasionalkan di lingkungan sekolah.
Keempat, pendisiplinan anak seringkali justru menjadi referensi bagi anak untuk melakukan hal yang sama pada teman sebayanya atau kepada yang lebih muda. MOS yang penuh kekerasan adalah salah satu bukti konkretnya. Pengalaman menjadi korban kekerasan dapat mendorong anak menjadi pelaku kekerasan, dari yang ringan hingga menjadi anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Merujuk pada pendapat Sigmund Freud, anak akan memperlakukan orang lain di masa dewasa seperti ketika ia diperlakukan orang lain pada masa anak-anak Dengan demikian, pengembangan disiplin positif perlu segera dikembangkan di seluruh sekolah agar tradisi kekerasan terbungkus pendisiplinan tak lagi mengakar dalam dunia pendidikan.
Kelima, otonomi daerah dan otonomi sekolah merupakan tantangan tersendiri dalam upaya penghapusan kekerasan di sekolah secara nasional. Dalam banyak kasus masalah kekerasan di wilayah atau sekolah tertentu tidak bisa disentuh dan diselesaikan karena pemaknaan otonomi ini. Bahkan tidak jarang anak korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual, mengalami perlakuan diskriminatif dan kekerasan-kekerasan yang lain, justru oleh sekolah atau pemegang otoritas kebijakan pendidikan di daerahnya. Dengan demikian, penerbitan peraturan daerah yang berwawasan perlindungan anak perlu segera dilakukan agar tak ada celah sekecilpun penyelenggara pendidikan melakukan kekerasan dan diskriminasi terhadap anak usia sekolah.
Keenam, banyaknya tayangan televisi, film dan gambar yang memuat konten kekerasan membuat anak belajar kekerasan setiap saat. Kemajuan teknologi informasi sangat memudahkan anak mengakses konten kekerasan, demikian pula game on-line banyak mengeksploitasi kekerasan. Semua ini sudah menjadi konsumsi anak sejak usia dini. Oleh karena itu, Komisi Penyiaran Indonesia dan Pemerintah perlu memaksimalkan proteksi agar anak tak menjadi korban dari bisnis yang bemuatan kekerasan.
Ketujuh, tingginya tingkat kesibukan orangtua dewasa ini cenderung menyebabkan lembaga pendidikan sebagai pelaksana sub kontrak pendidikan anak. Sementara posisi orang tua sendiri tak lebih sekadar berfungsi sebagai penyandang dana. Keadaan ini menyebabkan anak kurang mendapatkan perhatian di rumah, dan menanggung beban berat di sekolah, yang memicu mudahnya anak tersulut melakukan kekerasan. Oleh karena itu, sinergi orangtua dan sekolah perlu dimaksimalkan agar tumbuh kembang anak dapat terfasilitasi, terpantau dan terkontrol dengan baik.
5. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN
a.
Penyampaian materi
b.
Diskusi kelompok
c.
Presentasi hasil diskusi kelompok
dan pleno
d.
Review pelatih untuk pendalaman
6. LATIHAN DAN EVALUASI
a. Latihan
Latihan untuk pendalaman materi dalam bentuk sti kasus,
yaitu; (a), mengidentifikasi praktik kekerasan yang pernah terjadi/dilakukan di
satuan pendidikan; (b), menggali faktor pemicu; (c), upaya pencegahan terhadap
kasus yang terjadi.
b. Evaluasi
Evaluasi dilakukan untuk perbaikan proses pelatihan dan
hasil/dampak pelatihan. Teknik evaluasi dilakukan melalui; (a), mengisi lembar
evaluasi untuk menggali respon, kesan dan saran untuk perbaikan proses
pelatihan; (b), mengisi lembar pre test sebelum pelatihan dan post
test setelah pelatihan untuk mengetahui hasil dan dampak dari pelatihan
yang telah dilakukan.
7.
PENUTUP
Perlindungan anak di satuan pendidikan merupakan
tanggungjawab bersama, baik guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, siswa,
komite sekolah dan peran orangtua. Kerjasama dan kemitraan merupakan bentuk
upaya yang perlu dilakukan secara berkesinambungan, kapanpun dan dimanapun
satuan pendidikan berada. Pentingnya perlindungan anak dari kekerasan di satuan
pendidikan bukan semata-mata karena perintah undang-undang, namun lebih dari
itu sebagai ikhtiar pembudayaan kultur tanpa kekerasan dalam dunia
pendidikan. Karena hakikinya, pendidikan tidak bersenyawa dengan kekerasan,
sehingga perlu dicegah sedini dan semaksimal mungkin.
[1] Susanto, Revolusi
Kurikulum: Menuju Sekolah Berwawasan Perlindungan Anak, Depok: Mutiara
Jenius Press, 2015, hal. 13.
Posting Komentar untuk "BATASAN DAN BENTUK KEKERASAN DI SEKOLAH (Dr. Susanto, MA)"